Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Saturday, October 17, 2009

Tunangan Pura-pura ku

Kutatap langit kelabu tanpa bintang dari jendela kamarku. Langit itu seakan mendukung suasana hatiku saat ini. Teringat kejadian siang tadi di mal, air mataku kembali mengalir deras. Bukankah dasar dari suatu hubungan adalah kepercayaan. Sekarang kepercayaan itu telah tiada. Apalagi yang bisa dipertahankan dari hubungan itu.

Aku sedang berjalan-jalan mengitari mal bersama sahabatku, Carina. Hari ini Hari Minggu, tak heran terlihat banyak remaja yang sekedar mejeng maupun orang-orang dewasa yang berbelanja. Kami makan siang di sebuah restoran cepat saji. Setelah itu kami pergi ke sebuah boutique langgananku. Aku sedang memilih-milih tank top saat Carina menyenggol lenganku. Aku menatap dia dengan pandangan bertanya. Kemudian mata Carina mengarah ke kamar pas.

“Gimana, Honey? Baju ini cocok ga denganku? Bagus ga?”
“Bagus kok. Pas banget buat lu.”
“Thanx ya, Honey. Mbak, saya ambil yang ini saja. Bentar ya, ganti baju dulu, Honey.”
Rasanya udara yang ada di dalam paru-paruku akan meledak seketika itu juga. Honey? Aku saja sebagai pacarnya tak pernah panggil dia dengan sebutan itu. Salah, aku bukan sekedar pacar, aku tunangannya.
“Kita cabut aja atau mau nyamperin dia?” tanya Carina memecah lamunanku.
Aku melihat mereka berjalan menuju kasir dan aku langsung berjalan ke arah mereka.

“Hai, Bert! Kok ga ngenalin punya pacar baru?” tegurku.
Tunanganku itu tampak terkejut tapi cewek itu biasa saja. Dia malah menggandeng erat lengan tunanganku. Dapat kulihat dengan jelas kalau dia itu cewek yang mentel. Apa memang tipe cewek seperti itulah yang disukai para cowok.

Aku bertunangan dengan Alberto karena dijodohkan oleh kedua orangtua kami. Mulanya kami sama-sama menolak tapi kami jadi bertunangan mengingat kami sama-sama anak semata wayang. Sudah seharusnya membahagiakan orangtua di hari tua mereka. Toh kami masih bertunangan dan belum menikah. Lagipula tidak ada salahnya mencoba saling mencintai. Apalagi saat itu kami masing-masing belum memiliki pujaan hati. Jika dihitung-hitung bulan depan genap satu tahun sudah aku bertunangan dengannya. Sebelumnya memang ada perjanjian bahwa kami boleh membina hubungan dengan siapapun asalkan kedua pihak mengetahuinya. Sekarang dia melanggar perjanjian itu. Kurasa masalah utamanya bukan itu. Baru kusadari aku mulai mencintainya. Aku cemburu melihat cewek itu terlihat mesra dengannya. Alberto sudah menyakiti hatiku.

“Honey, dia siapa? Temen kamu ya?” tnaya cewek itu memecah kebisuan yang tercipta diantara kami.
Karena tidak mendapat jawaban Alberto, cewek itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya, “Aku Stella. Honeynya Alberto. Kamu?”
“Dia tunangan honeymu itu,” jawab Carina yang sudah berdiri di sampingku.
“Oh, masi tunangan….”
“Kurasa sudah cukup sandiwara kita. Kamu sudah menemukan cewek yang kamu cintai. Sudah hampir setahun kita masih tidak bisa saling mencintai. Kalian juga terlihat saling mencintai. Jadi, biarlah semua selesai sampai di sini. Semoga kalian bahagia,” kataku dengan gemetar karena menahan air mataku.
Kulangkahkan kakiku keluar dari boutique diikuti Carina. Beberapa meter dari pintu keluar, tanganku dicekal.
“Thleen, aku… aku… aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Tidak seperti yang kamu bayangkan.”
“Penjelasan apalagi? Aku tidak membayangkan tapi melihatnya sendiri.”
“Cathleen… please…”
“Semua da finish. Kita hanya tunangan dengan perjanjian. Kamu sudah menemukan belahan hatimu, apalagi? Atau kamu takut kedua orangtuamu sedih? Aku juga. Tapi bukankah kita sama-sama tidak merasakan apa-apa dan kamu telah melanggar perjanjian kita. Entah sudah berapa lama kamu berhubungan dengan cewek itu tanpa sepengetahuanku.”
“Hey, namaku Stella!”
“Dasar perusak hubungan orang,” cetus Carina.
“Napa? Salah? Toh mereka tidak saling cinta. Kalo bukan karena cewek ini, aku sudah bertunangan dengan Alberto. Asala
kamu tahu ya selama ini Alberto hanya kasihan sama kamu. Kamu itu…”
“Cukup, Stella!” teriak Alberto.
Aku segera berlari dari tempat itu karena air mataku tak tertahankan lagi. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Ternyata selama ini hanya rasa kasihan. Ucapan Stella telah membuka mataku lebar-lebar.

“Thleen, Cathleen, ada Alberto di bawah,” kata mama mengetuk pintu kamarku.
“BIlang saja Cathleen sudah tidur, Ma.”
Aku berusaha menghindarinya dengan berbagai alasan.
“BIlang saja Cathleen lagi ngerjain tugas.”
“BIlang saja Cathleen lagi belajar.”
Kata-kata seperti itulah yang semakin sering keluar dari mulutku.
“Cathleen, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Alberto? Kalau benar ada masalah ya harus diselesaikan bukan menghindar seperti ini,” kata mama suatu kali ketika aku melontarkan kata-kata itu lagi.

Tak terasa sudah sebulan aku menghindar darinya. Di kampus aku selalu bersama Carina. Carina maklum akan hal itu. Carina tidak masuk hari ini karena ada urusan keluarga katanya. Saat aku keluar dari kelas tanganku dipegang seseorang. Orang yang aku takuti untuk bertemu. Aku tidak kuat berhadapan dengannya.
“Thleen, please dengarkan aku kali ini.”
“Apa tidak janjian dengan cewekmu?”
“Aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi.”
“Aku turut sedih mendengarnya. Padahal kalian berdua cocok.”
“Cathleen, apa kamu lupa hari ini hari apa?”
“Tentu aku ingat. Aku sudah siap menghadapi semuanya.”
“Bagus. Ikut aku!” katanya menarik tanganku pergi.
“Kita mau ke mana?”
Dia tidak menjawab dan membawaku ke mobilnya lalu menjalankannya.

“Bert, kita sebenarnya mau ke mana? Bukankah bisa diselesaikan di kampus saja. Sama saja.”
“Tidak akan sama.”
“Huh! Aku tidak akan pernah mengerti soal cowok.”
“Tenang sajalah,” katanya sambil mengusap kepalaku.
Apa-apaan ini? Dia pikir aku seperti Stella yang bisa dibujuk dengan sepatah dua patah kata manis?

“Bagus banget… Kamu yang buat semua ini?”
“Tentu saja. Tapi dengan bantuan beberapa orang juga sih.”
Aku kagum melihat apa yang dipersiapkannya untukku. Ada sebuah pondok kecil di tengah pantai dihias dengan indah. Ada peralatan makan di atas meja kecil. Yang membuatku semakin senang ada sebuah boneka forever friends yang besar.

Dia mempersilakanku duduk. Kemudian ada beberapa orang yang menyajikan makanan kesukaanku yaitu seafood. Suasananya really beach. Alberto menyalakan lilin yang diletakkan di buah kelapa kosong yang sudah dilubangi. Selesai makan dia mengajakku berdansa. Dansa yang unik banget. Musiknya berupa suara desiran ombak dan kami sama-sama mengenakan jeans. Setelah itu dia memberikanku tujuh buah balon dan menyuruhku menerbangkannya. Katanya di dalamnya ada kertas bertuliskan “My True Love”. Dia juga memberikan sebuah botol kosong dan menyuruhku menuliskan wish di kertas yang diberikannya. Aku memasukkan kertas itu ke dalam botol dan melemparnya sejauh mungkin begitu juga dengan Alberto. Aku memandang ke hampar laut yang sangat luas. Alberto memeluk pinggangku dari belakang dan berbisik di telingaku, ”I love u, Cathleen, now and forever.” Aku tersenyum senang dan membalas, ”I love u, too,” kemudian aku mencium pipinya dan kami berpelukan di tengah hembusan angin yang lembut.

Ada pepatah,”Cinta tumbuh dari kebersamaan,” aku setuju sekali. Mulanya aku dan Alberto merasa hanya sebatas tunangan dengan perjanjian atau bisa dikatakan teman. Kebersamaan kami selama hampir setahun itulah yang menumbuhkan rasa cinta itu. Aku menjadi wanita paling bahagia karena perasaanku terbalas. (Cathleen)

Jika dibilang kita tidak sadar kalau kita mencintai seseorang hingga kita kehilangan dia, aku percaya. Aku tidak sadar sejak kapan mulai mencintai Cathleen sampai dia menghindariku. Aku rindu suaranya dan kebersamaan kami dulu meski semuanya palsu. Akhirnya kutahu betapa aku mencintainya dan sangat takut kehilangan dirinya. Aku pria beruntung yang mampu menaklukkan hatinya. (Alberto)

No comments:

Post a Comment