Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Wednesday, November 24, 2010

Think.. Think.. Think..


Kembali lagi dengan curahan hatiku sobat... Aku tahu kamu selalu menjadi pelampiasan di saat diriku sedang kesepian. Seperti sekarang ini, sepulang dari kampus, menikmati makan siang, kemudian berencana pergi untuk menjalankan aktivitas autisku, namun tiba-tiba hujan. Sekarang sedang hujan, dan aku duduk sendiri di kamar, menulis dan bercerita untukmu. Bukan karena tak ada hal yang bisa kulakukan, tugas untuk minggu depan telah menungguku menyapa namun aku benar-benar butuh bernafas setelah dua hari lalu kuliah padat dari pagi hingga sore dan tugas-tugas. Untuk itu, aku memilih menyapamu di sini, temanku yang paling setia...

Kemarin aku mendengar sebuah sharing dari salah satu dosenku. Usianya hanya terpaut beberapa tahun dariku, sehingga masih cukup muda. Dia bercerita mengenai orang-orang yang berani menentukan tujuan hidupnya sendiri. Orang-orang yang menjalani hidupnya dengan cara yang tak biasa. Menurutku, itulah orang-orang yang luar biasa, Keberanian, prinsip, dan idealisme mereka mendorong mereka untuk melakukan hal-hal luar biasa. Aku sependapat dengannya, mereka orang-orang yang benar-benar gila dan berani memutuskan jalan hidup mereka. Bagiku, itu benar-benar keren. 

Dari dulu aku memang tak begitu appreciate orang-orang yang masuk ke perusahaan besar karena IP yang memang sangat bagus, berprestasi, dan mendapatkan gaji yang nominalnya cukup besar kemudian mendapatkan kemewahan hidup. Bukan berarti itu semua tak penting, tapi entah mengapa aku merasa itu sesuatu yang biasa saja. Aku juga tak begitu suka dengan orang-orang yang pintar otaknya tapi tidak rendah hati, sungguh, bukan aku iri pada mereka. Aku hanya melihat mereka adalah orang-orang yang beruntung diberi kepintaran namun tak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Aku lebih respect pada orang-orang yang tak begitu pintar namun mereka berusaha dan tetap rendah hati. Aku sering kali menyemangati teman-temanku yang penting bukanlah hasil tapi proses. Proses yang cepat untuk orang-orang pintar akan terasa diremehkan sementara proses yang kurang cepat untuk orang-orang yang kurang pintar akan dimanfaatkan sebaik mungkin. Ini juga bukan karena hasil tidak penting, tentu hasil adalah hal penting, karena jujur semua hal pasti dilihat dari hasil, namun makna sesungguhnya ada pada proses bukan pada hasil. Untuk apa mengejar nilai namun kamu melupakan hal-hal yang menjadi dasar kamu mendapatkan nilai itu. 

Aku memiliki seorang teman yang sangat mengejar nilai, tak heran IP nya sangat bagus bila dibandingkan dengan aku. Aku tak iri akan hal itu. Yang aku tak suka dia itu buta dalam mengejar IP. Memang IP itu penting dan dengan IP dia yang bagus, mungkin saja tak akan ada kesulitan bagi dia untuk melamar pekerjaan nantinya ataupun mengajukan beasiswa S2. Berbeda dengan IP ku yang hanya memenuhi standar saja, tak begitu menonjol, Namun orangnya begitu memperhitungkan dalam pengerjaan tugas dan suka iri pada orang yang nilainya lebih dari dia. Dia tidak puas jika ada yang nilainya lebih tinggi darinya. Setiap kali bekerja sama dengan dia di dalam satu kelompok seharusnya dia dengan IP sebagus itu mengerjakan bagian yang lebih banyak karena tentunya dia pasti lebih mengerti tapi kenyataan sebaliknya. Aku kembali berpikir untuk apa mengejar IP sampai sebegitunya. Memang itu hak tiap orang dan aku tak akan meneladani orang seperti dia. 

Setelah lulus nanti, jujur, aku masih belum memutuskan langkahku akan kemana, S2, atau menjalankan usaha, ataukah bekerja. Aku hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahku ini. Hampir semua orang berkata masa kuliah adalah masa yang paling menyenangkan, sama halnya dulu orang mengatakan masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Bagiku, semua masa dalam hidupku sama saja. Kehidupan SMA ku tak berwarna seperti lainnya, mungkin bagi yang lain malah datar, tidak ada gank, tidak pernah bolos, dan tidak berorganisasi, aku lebih fokus ke kegiatan organisasi di luar sekolah. Di masa kuliah ini, aku habiskan 2 tahun lebih untuk kehidupan organisasi dan sekarang aku mulai jenuh dan mempertanyakan apa benar yang kujalanni semua ini. Dosen-dosen mengatakan pentingnya mengasah softskill, dan dengan berbagai sertifikat yang kudapatkan dari berbagai acara yang kutangani, serta pengakuan kesuksesan dari orang-orang. Teman-teman memandangku sudah cukup berhasil baik dalam kuliah maupun organisasi. Mereka hanya melihat luarku saja. Film EAT PRAY LOVE yang membuatku berpikir seluruh pencapaianku selama ini akan berakhir di mana dan akan berguna untuk apa. Apa yang akan kulakukan seusai kuliah? Apa tujuan hidupku? Aku masih belum bisa menjawabnya. Di pertengahan semester 5 ini aku memutuskan untuk mundur dari semua kegiatan organisasiku, untuk organisasi yang masih kujabat, aku hanya mengurangi keaktifanku. Ini semua berawal dari suatu hari di saat aku melihat-lihat apresiasi dari kegiatanku yaitu berbagai macam sertifikat. Aku duduk termenung menatap berbagai penghargaan dari berbagai organisasi. Untuk apa ini semua? Apa benar-benar menambah value diriku? Apa yang kukejar dari ini semua? Apa aku bangga dengan ini semua? Dengan ini semua apa yang akan kulakukan? Aku hanya bisa diam membisu, tak mampu menjawab. Mungkin sudah saatnya aku benar-benar berhenti dan fokus pada kuliah untuk mengejar cepat lulus dan mulai sekarang memikirkan apa yang akan kulakukan seusai lulus nanti. Untuk benar-benar berhenti aku kadang ragu. Setiap saat kumemutuskan untuk berhenti selalu ada tawaran-tawaran menarik untuk ditangani lagi. Dan terlebih tawaran itu karena mereka mempertimbangkan kapasitas diriku dan mereka percaya padaku untuk melayani banyak orang, untuk memfasilitasi semua orang. Haruskah sisi egoisku muncul? Menolak semuanya dengan alasan sekarang ingin berfokus pada diri sendiri. Aku ingin menjawab, "Iyah ini saatnya, aku memikirkan diriku sendiri, apa yang kulakukan selanjutnya." Tapi di dalam sini kadang suka memberontak. "Kamu tidak boleh begitu, tidak boleh egois." Aku sulit sekali mengatakan "tidak" pada teman-teman yang membutuhkan bantuanku. Entah ini disebut kelemahan apa kekuatan.

Kadang aku suka bingung dengan diriku sendiri, perfeksionis juga bisa berarti positif dan negatif. Entah mengapa dalam diriku terdapat cukup banyak sifat-sifat yang bisa bermuka ganda sekaligus. Membuat diri ini sulit memutuskan batasnya. Pemikiran yang aneh juga sering muncul dan aku merasa aneh dengan diriku sendiri serta tidak percaya diri. Ketika semua orang mengatakan "A" aku malah mengatakan "B". Ketika semua orang menyukai "A" malah aku lebih memilih "B". Sering kali aku selalu bertolak belakang dengan kebanyakan orang dan pemikiran yang berbeda serta sudut pandang yang berbeda. Mungkinkah ada keanehan pada diriku? Jujur, aku tak tahu. Terkadang aku meragukan idealisme dan prinsipku, dan ingin mengikut arus meskipun kadang enggan. Entahlah aku sungguh bingung saat ini, menerima tawaran itu ataukah benar-benar berhenti dan mencari tahu apa sesungguhnya yang ingin kukejar. Mungkin sudah saatnya aku berhenti dan mulai mencati tahu apa tujuan hidupku.

Terima kasih sobat, aku bersyukur, aku memilikimu yang selalu setia setiap saat untuk menampung seluruh keluh kesahku, seluruh curahan hatiku dan tak pernah bosan mendengar celotehku. Aku tak akan merasa kesepian selama ada dirimu dan aku tak akan lama merasa tertekan karena adanya dirimu,

Thursday, November 18, 2010

Fourth Month in 20th

Mengawali bulan keempat ini dengan UTS yang berjalan selama 2 minggu. Semester 5 ini benar-benar sangat suram. Seakan-akan selama 2 bulan kurang tidak ada 1 mata kuliah yang berhasil saya kuasai benar-benar. Hasil UTS juga sudah pasrah. Biarlah begitu adanya. Setelah UTS, masuk minggu adem, belum ada tugas karena masih warming up setelah UTS. Minggu selanjutnya kegiatan saya diisi 2 event sekaligus. Menjadi staf acara di salah satu workshop sahamnya PIC dan peserta di Seminar Nasional, Mungkin kepanitiaan ini akan menjadi kiprah terakhir saya berorganisasi di dunia kampus. Mungkin, karena sejujurnya saya belum berani memastikannya. Lusanya, saya menjadi peserta, dalam waktu sesingkat itu saya berganti peran. Untuk pertama kalinya, saya merasakan bagaimana menjadi peserta. Mengeluarkan uang sendiri untuk mendaftar dan mengikuti seminar. Melihat kesibukan para panitia yang lalu lalang. Rasanya hati saya sangat plong saat itu, saya tak lagi sibuk, tak lagi sibuk melayani. Rasanya benar-benar tak ada beban, tak ada rasa nervous, tak ada tekanan, tak ada emosi. Semua halnya datar, stabil. Mungkin inikah yang saya cari setelah 4 semester sibuk mengurus ini dan itu, sudah tiba saatnya untuk diam menenangkan diri. Mencari tahu apa tujuanku ke depannya, mencari tahu apa saya sudah mendapatkan semuanya.

Saturday, November 13, 2010

DO I???

Do I really wanna quit from all the organization activities? Do I really can say "I'm off"? Do I really wanna try that something new? Do I really feel that feeling? Wanna share bout these two topics...

I'm tired... Tired being busy organize events.. Tired be active in organizations. Do i really reach the maximum tired point? I think the answer is maybe. I really wanna like some of my friends, the only thing they do is just studying. But, you know, even though i'm not joining in any organizations, i will not have that extra diligence to study every day. But I just wanna stop those kinds of activities and begin to think about my future. What is the point of my life? What is I really want in my life? What do I want to reach? After leaving campus, after i graduated, there is still nothing in my mind, no plan for my life after campus. Everything seems stuck. Now... in fifth semester my laziness increase, not really like my courses. Oh, what should i do now? The spirit begins to go away. 

Lots of my friends begin to being in a relationship. And me? Still the same. Still being single. Still choose being like this. My egoism is still high, all my time is just for me not for any of him. Sometime I feel that loneliness but try to ignore it. And now, can I survive? Is my egoism still that strong? I can't answer it. Be honest, I begin to open my heart, there is a feeling that I'll try being in a relationship, but the problem is who is that person i wanna be in that relationship? Still no answer. Has he disappeared? Or I should wait... Till when? Do i really can accept new one be a part of my life? No answer. Thanx to God, i don't choose him to become part of my life, but he has been succeed make me can't believe others.Thanx to God, i don't choose any of them because now they are happy with their choices. Hope someday I can believe someone be part of my life, sharing my time with him, and holding his hands to walk together...

Friday, November 5, 2010

Idealism vs Reality

Halo Sobat, diriku menyapamu kembali. Telah lama tak bersua.
Akhir-akhir ini aku lumayan sibuk dengan segala tugas dan ujian tengah semester. Hasilnya? Jangan tanya. Biarlah apa adanya. Sudah tidak peduli lagi bagaimana hasilnya. Yang penting sudah lewat, biarlah berlalu.

Kali ini aku akan mambahas mengenai topic idealism dengan kenyataan. Perbandingan pertama aku mengambil dari kisah nyataku sendiri. Delapan tahun yang lalu aku pernah mengami putusnya persahabatan dengan seorang cowok. Saat itu, idealisku goyah. Memang benar kata orang tak mungkin adanya persahabatan murni antara lawan jenis. Yah, putusnya persahabatan bisa dibilang karena masalah yang tak jelas dan dasarnya adalah rasa di luar persahabatan itu sendiri. Saat itu aku cukup terguncang, karena dia salah satu orang terpenting dalam hidupku, dia mengenal semua tentang diriku, dan kehilangan dia dalam keseharianku bukanlah sesuatu yang mudah. Setelah tiga tahun berlalu akhirnya luka itu telah tertutup. Datang lagi seorang yang ingin bersahabat. Awalnya aku sudah ingin menolaknya. Berdasarkan pengalaman silam yang amat menyakitkan rasanya memang terlalu idealis membangun persahabatan murni namun dia berhasil meyakinkanku hingga aku juga menerima kembali persahabatan itu dengan idealisku. Setelah berjalan hampir enam tahun, kini retak. Bukan alasan yang persis sama, dia tertarik dengan orang lain, dan seluruh perhatiannya “mungkin” tertuju pada orang itu, bahkan dia sangat tertutup soal cewek itu hingga aku tak mengetahuinya. Aku bahkan tak pernah melarangnya untuk menjalin hubungan dengan siapapun tapi sebagai sahabat bukankah wajar bercerita. Aku kadang juga sering bercerita mengenai cowok-cowok yang sedang mendekatiku. Sungguh, aku tak habis pikir. Kini dia meminta maaf dan menanyakan kesalahan dia apa. Dia bahkan tidak tahu masalahnya di mana, untuk itu aku juga malas membahasnya. Biarlah begini saja. Butuh waktu untuk menghancurkan persahabatan, butuh waktu juga untuk memulihkannya. Untuk saat ini, sangat sulit buatku untuk menerimanya lagi. Mungki untuk selanjutnya, aku takkan menerima cowok manapun sebagai sahabat lagi, cukup sebatas teman, tidak lebih. Biarlah idealisku hancur daripada hati ini yang sakit.

Topik selanjutnya beralih ke dunia kampus. Idealis sebagai seorang mahasiswa yang bagus dalam akademis dan organisasi. Memang nilai akademisku tak terlalu buruk juga tak terlalu baik. Hanya mencukupi standar yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Meski kehidupan organisasi lumayan berwarna, tapi tetap tidak akan ada habisnya. Melewati hari-hari dengan organisasi cukup melelahkan, fokus terbagi ke sana. Menurutku tidak begitu mengganggu perhatian karena sejujurnya seluruh kegiatan organisasi vakum saat ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satu acara demi satu acara aku lewati, satu semester demi semester dengan rentang nilai yang hampir berimbang. Yah, aku cukup sukses mempertahakan nilaiku selama aku aktif berorganisasi. Kesalahan utama nilaiku tidak melonjat tinggi karena kemalasan. Bisa dibilang nilaiku dicapai dengan keberuntungan. Harusnya aku mampu mencapai nilai yang jauh lebih tinggi seandainya aku lebih rajin, sering mengulang pelajaran dan menyicil menjelang ujian, bukan malah belajar pas hari H. Yah, jujur kehidupan organisasi itu lelah. Untuk menyeimbangkan antara kuliah dan organisasi tak mudah. Banyak teman yang memilih fokus pada kuliah dan tak mengikuti organisasi apapun dan nilai mereka sangat memuaskan. Itu pilihan setiap orang, pilihanku selama  5 semester ini masih menyeimbangkan keduanya dan mungkin di semester depan aku akan melepas dan fokus ke kuliah. Semoga aku bisa. Atau memang kehidupan lkampusku harus kombinasi keduanya? Who knows?

Dari awal aku masuk kuliah, aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa IP bukan segalanya. Idealisku berkata demikian, nilai bukan segalanya. Namun hingga kini, aku mulai goyah. Untuk mengajukan beasiswa S2 butuh IP yang sangat bagus yaitu top rank. Untuk mengikuti perlombaan-perlombaan bergengsi dan magang di perusahaan-perusahaan terkenal butuh IP yang sangat bagus. Aku menjadi ragu benarkan idealisku selama ini? Atau yang benar itu idealis teman-temanku yang mengejar IP tinggi dan nilai dengan cara apapun? Sungguh, hingga semester ini aku baru merasakan keraguan itu.

Karena kebosananku akan kuliah, aku ingin cepat lulus, itu berarti semester depan aku mengambil bidang kajian. Setelah menghitung poinku di seluruh bidang kajian, seperti biasa nilaiku rata-rata, standar, berimbang. Hanya kurang bagus di bidang kajian yang justru aku incar. Kembali ke topik IP sebelumnya. Apakah IP memang benar bukan segalanya untuk bersaing baik di kampus maupun di luar? Kajian yang mudah dan kajian yang sulit dengan kelululusan yang sama dan gelar yang sama, manakah yang akan dipilih?

Setelah lulus, aku belum memiliki tujuan yang jelas. Mungkin melanjutkan studi atau kerja. Tentunya aku menginginkan pekerjaan yang bagus dan mapan, namun di satu sisi idealis ini berkata untuk mendapatkan pekerjaan yang kusuka dan berkaitan dengan hobi travelling. Jika aku dihadapkan pada pilihan pekerjaan yang menawarkan gaji yang sangat tinggi dan bergengsi namun harus menetap dan membosankan dan pekerjaan yang selalu berpindah tempat dengan gaji yang secukupnya, jujur aku tidak tahu apa jawabannya.

Idealisme selalu bertolakbelakang dengan kenyataan yang ada. Mungkin memang selalu begitu hingga kadang membuatku ragu untuk melangkah. Semoga aku dapat memutuskan segalanya dengan benar, perlu berdoa untuk benar-benar tahu apa yang kuinginkan sebenarnya.