Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Saturday, October 31, 2009

Awal Hari Bulan November

Detik ini juga kuingin waktu berjalan cepat melayang ke bulan berikutnya. Melayang ke bulan terakhir dalam satu tahun. Aku sudah sangat merindukan waktu itu. Terlalu amat merindukannya hingga membuatku resah tiap kali mengingatnya. Bulan kedua terakhir dalam satu tahun, aku tertegun sejenak. Apa yang sudah saya lakukan? Targetku sudah tercapaikah? Keinginanku sudah terpenuhikah? Manusia tidak pernah merasa puas bukan? Selalu ingin mencapai sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Aku menulis di sini yang awalnya tidak ada keinginan sama sekali, namun entah mengapa jari-jariku menari dengan lincah di atas keyboard. Hari ini aku banyak melanggar janjiku sendiri. Yang harusnya menjadi tenaga sukarela di hari perayaan Kathina di Vipasana Graha, ku lebih memilih tetap berada di kos. Yang harusnya saat ini biasanya aku sedang mengikuti kebaktian di Vihara Vimala Dharma, ku lebih memilih berdiam diri di kos. Sesuatu yang aneh. Awal bulan baru tak membuatku semangat. Beberapa hal yang tidak biasa dilakukan justru sangat ingin kulakukan.

Tepat dua bulan lagi, akan ada langkah besar menuju tahun yang baru. Tiap hari berganti, tiap minggu berganti, tiap bulan berganti, tiap tahun berganti, tumbuh dan berkembang juga tentunya harus lebih baik dari yang kemarin. Hingga kini aku masih menemukan apa yang kuinginkan. Mencari ilmu di suato kota yang jauh dari kampung halaman, berpisah dengan orang-orang yang kusayangi, sendirian di kota ini. Mengisi hari dengan kesibukan kuliah dan organisasi. Bergaul dengan berbagai macam teman dari yang tulus hingga yang tidak menghargai. Memutuskan dan menyelesaikan masalah sendirian. Setelah kujalani rutinitas ini hingga setahun lebih diri ini masih tidak yakin semua ini benarlah kemauanku dan akan membuatku bahagia menjalaninya.

Banyak kejadian yang berputar selama setahun ini. Aku semakin rindu kehidupanku yang lama yang berada di tengah-tengah orang-orang yang kusayangi di mana aku takkan merasa sendirian. Dengan tulus mereka akan selalu mendukungku untuk semangat dan menopangku saat ku mulai goyah. Aku merindukan kehangatan dan suasana bersahabat seperti itu. Namun kusadari segala yang terjadi adalah proses pembelajaran. Tanpa yang kulalui semua selama setahun ini, aku takkan pernah bertumbuh dan berkembang lebih baik. Aku akan tetap berada dalam perlindungan mereka yang tidak memliki keberanian melakukan semua hal dengan percaya diri serta siap menerima segala konsekuensi dan resiko.

Posisi mereka selamanya takkan tergantikan oleh yang lain. Ingin sekali aku melompati bulan ini agar dapat segera bertemu dengan mereka. Di satu sisi kutahu itu hal yang mustahil, di sisi lain dengan semakin cepatnya bulan ini terlewati maka akan semakin cepat pula berakhirnya tahun ini berganti tahun yang baru. Saat di mana keinginan-keinginan, target-target, dan cita-cita dipatok. Saat di mana harus butuh keberanian lebih untuk menghadapi segala macam hal mengerikan yang mungkin terjadi di tahun itu. Saat di mana tidak sabar menerima segala hal menyenangkan. Saat di mana harus bersiap diri terhadap segala kemungkinan terjadi. Sebuah pengharapan mendasar akan tahun yang lebih baik dari tahun lalu.

Kembali kutenggelam dalam lamunanku, renunganku, dan imajinasiku. Banyak yang menganggap ini sesuatu yang aneh, tapi inilah diriku dengan semua kekurangan yang ada. Merenung adalah hal yang bisa membuat pikiranku lebih jernih. Satu hari di awal bulan pada hari Minggu yang cerah akan mengawali kseibukan hingga akhir tahun tiba. Semoga aku dikuatkan untuk menjalani semuanya.

awal satu hari baru
di satu bulan baru
bernama November
mengawali Minggu cerah

Melewatinya butuh kesabarn
Hingga tiba di ujung penantian
Ditunggu sebuah kesempatan
Di gerbang kerinduan

Meluapkan seluruhnya
Menikmati detik-detik yang dipunya
Meresapi suasananya
Hingga enggan melepasnya


                                                                                                                                        1 November 2009

Saturday, October 24, 2009

He's really my man

kuakui dia telah berhasil membuatku menoleh

kuakui dia telah berhasil menyerap perhatianku

dia sosok yang mengagumkan

dia sosok idaman semua wanita

banyak kelebihan yang dia punya

memberikan kharisma tersendiri

segala yang dia miliku membuatku kagum

apa sekedar rasa kagumkah?

hingga kini tak mampu kujawab

keramahan dia meluluhkanku

kesopanan dia merayuku

sosok yang benar-benar ingin kumiliki

tapi hingga kini aku masih berdiri di tempat

belum mulai bergerak

hanya menunggu rasa ini menjalar sendiri

menunggu suatu masa depan yang baik

Thursday, October 22, 2009

mimpi tentang dia

aku bermimpi tentang dia
tak tahu mengapa
di saat tubuh ini lelah
di saat mata ini lelah
di saat pikiran ini lelah
seharian beraktivitas
mimpi itu muncul begitu saja
di suatu malam yang kelam
aku sendiri bertanya mengapa
mengapa harus dirinya
mengapa dia yang muncul dalam mimpiku
aku sudah berusaha untuk tidak memikirkannya
beberapa hari ini tak bertemu dengannya
tersirat sedikit rasa rindu
ingin tahu apakah dia baik
ingin tahu kabarnya
hingga kini masih bertanya
mengapa sosok dia yang muncul
dia yang sangat berbeda dengan kenyataan
dalam mimpi itu dia sosok yang kukagumi
dia yang menyayangiku apa adanya
dia yang menemaniku
dia yang berada di sisiku
dan dia yang menjadi milikku
kutahu aku takkan pernah memilikinya di kenyataan
dalam mimpi semuanya terasa indah
ingin sekali aku tak ingin terbangun
menyadari segalanya tidak semanis mimpi
kuingin dia yang berada dalam mimpi
hanya melirikku sedikit
mencurahkan perhatian yang biasa diberikannya ke yang lain
ku tak berharap banyak
cukup hanya itu
dari awal sudah kutetapkan
ku tak ingin meraihnya
hanya menunggu suatu saat itu tiba
mimpi yang menjelma menjadi nyata

Saturday, October 17, 2009

I need U

Kian hari tubuh ini semakin tak berdaya

Kian minggu pikiran ini makin penat

Kian bulan hati ini kian lelah

Aku tak menginginkan ini semua

Tak kuasa telah terjebak di dalamnya

Hanya mengharapkan sisa kekuatan

Untuk menelusurinya

Aku merindukanmu

Aku membutuhkanmu

Aku menginginkan kehadiranmu

Aku mengharapkan bertemu denganmu

Aku ingin menceritakan keluh kesahku

Aku ingin mencurahkan perasaan yang rumit

Aku ingin kata-katamu yang diutarakan dengan tulus

Ku tahu itu tak akan terjadi

Hanyalah sebuah harapan kosong

Hanyalah sebuah khayalan belaka

Dirimu tetap akan di sana dengan aku di sini

Terbentang jembatan antara kita

Tak mampu untuk kau seberangi

Tak mampu untuk ku seberangi

Kita hanya akan tetap berada di tepi sisinya

Menatap satu sama lain

Tanpa gerakan apapun

Tanpa tindakan apapun

Hanya membisu lewat tatapan

Kutahu akan selamanya begitu

Namun masih tersirat sebuah harapan

Suatu saat khayalan menjelma kenyataan

Suatu saau kita berada di tengah jembatan

Menyatu hingga tak butuh kerinduan

Menyatu hingga tak butuh harapan

Hanya cukup demikian

Kebahagiaan sudah terasa berarti


16 Oktober 2009

Curahan hati untuk sobatku...

Awan kelabu disertai angin bertiup kencang. Semakin kelabu akhirnya menjadi hitam kemudian turunlah tetesan-tetesan kesedihan.

Hari ini bukanlah awal hari yang menyenangkan bagiku. Dari awal pagi sudah ada hal yang membuat resah. Namun tak menyangka akan separah ini. Banyak kejadian yang membuat kepalaku nyaris meledak, aku lebih baik memilih bersembunyi daripada menghadapi satu hari ini.

Teman seperjuangan sekaligus saudara aku meninggalkanku untuk selama-lamanya pada hari ini. Aku tahu di satu sisi dia merasa berat hati meninggalkan kami semua namun di satu sisi dia akan merasa lebih lepas, lebih bebas, yang mungkin pernah menjadi keinginannya dulu ataupun pernah terpikirkan olehnya dulu.

Wahai sobatku, tahukah kamu hati ini sakit melihatmu pergi? Ingin rasanya memanggilmu kembali dan memelukmu erat agar kamu tidak mampu melepas diri. Namun hati ini juga turut senang dengan kepergianmu. Apalah arti sebuah status, kita akan tetap saudara dengan atau tanpa keluarga itu. Tak butuh status itu untuk mengakui kamu sebagai anggota keluarga. Di hatiku kamu tetap akan menjadi saudaraku. Pergilah, sobat! Mungkin itu akan lebih baik daripada diri ini yang terjebak. Ingin rasanya kusegera menyusulmu namun masih ada saudara-saudara lain yang senasib denganku.

Tahukah kamu aku ingin sekali kepas dari ikatan keluarga ini? Tahukah kamu aku merasa sangat tersiksa? Seluruh tenagaku terkuras dan apa yang kudapatkan? Keluarga yang bagiku tak layak disebut keluarga. Kamu beruntung sekali telah keluar dari lingkup menyiksa ini, dengan saudara-saudara yang memandang rendah, yang menghina, yang meremehkan, mengganggap dirinya baik, selalu menyalahkan tanpa peduli situasi. Inikah definisi sebuah keluarga? Yang orang di dalamnya merasa derajat lebih tinggi hanya karena status itu. Jika aku bisa memilih saat ini, ingin kumelepas semuanya dan kembali ke kondisi semula, dimana hari-hariku dipenuhi canda tawa riang sahabat-sahabatku, yang meski bukan keluarga namun tetap berada di sampingku menyemangatiku, mendukungku. Kembali ke kondisi awal dimana aku sangat menikmati hari-hariku dan berharap tiap hari datang ke tempat itu karena hanya di sanalah aku bertemu dengan mereka. Saat ini, tiap hari aku merasa enggan sekali datang ke tempat itu, sahabat-sahabatku menjaga jarak denganku hanya karena sebuah status.

Sobat, tahukah kamu sahabat-sahabatku itu jauh lebih berharga dari status itu? Status itu membentang jarak antara diriku dengan mereka. Aku tak bisa bergaul bebas dengan mereka. Ini harga yang harus kubayar untuk sebuah keluarga itu. Keluarga yang malah lebih harus kujaga perasaannya, bukan tempat kumencurahkan dan melampiaskan perasaanku. Keluarga dimana aku lebih harus menjaga sikap baikku dan segala kepura-puraan agar dapat diterima. Keluarga yang bahkan lebih mempersoalkan sesuatu daripada orang luar. Keluarga dimana aku tak mampu menjadi diriku sendiri jika tidak ingin dicemooh. Keluarga yang bahkan hingga saudaraku keluar tak mampu menerimaku apa adanya.

Apa yang kudapatkan setelah aku kehilangan teman-teman berhargaku? Hanyalah rasa sakit, sobat. Hati ini perih, tak tahu hingga kapan aku dapat bertahan menghadapi tingkah laku keluargaku ini. Namun, di keluargaku ini juga aku menemukan saudara-saudara senasibku, yang merasakan hal yang sama. Aku akan menemani mereka berjuang hingga suatu saat aku melepas statusku untuk selamanya. Jika sebelum saat itu tiba diri ini sudah tak berdaya, tak mampu, dan tak kuat, maka aku akan menyusulmu sobat.

Hujan turun dengan derasnya berharap hendaknya turut membawa kesedihan ini.

5 Oktober 2009

Dia...

Sebatang lilin bersinar redup…
Secangkir kopi hangat menggempul…
Lilin itu mengingatkanku pada dia…
Dia yang walaupun kadang jauh dariku namun memberi kehangatan…
Kopi mengingatkanku pada dia…
Dia selalu takut meminumnya malam hari…
Tergeletak sebuah buku di atas meja…
Buku mengingatkanku pada dia…
Dia seorang yang menyenangi buku…
Terdengar kata-kata orang di sekitarku…
Kata-kata mengingatkanku pada dia…
Dia selalu memberikan nasihat yang membangun…
Sekelilingku mengingatkanku pada dia…
Diriku pernah berada di tempat ini di suatu saat…
Bersama dengan dia melewati malam yang larut…
Suasana meriah malam ini serupa…
Keributan malam ini sama…
Namun tak lagi ada dirinya…
Tak mampu kugapai…
Dia bukan milikku, mungkin takkan pernah…
Hanyalah kenangan yang kupunya…
Berdiam menunggu dia menghampiri…
Bertanya apakah ini perih?
Bertanya apakah ini sakit?
Bertanya apakah ini kecewa?
Berharap apakah ini cemburu?
Tak mampu terucap sepatah kata…
Tak mampu memberi sebuah jawaban…
Hanya membisu dalam kesepian hati…
Tak ingin merebutnya…
Tak maksud meraihnya…
Hanya secuil harapan dapat bersama dengannya lagi…
Di suatu malam di tempat ini lagi…
Dengan suasana seperti ini lagi…
Menikmati waktu yang ada…
Kuinginkan itu…

26 September 2009

Perih...

Ketika menginginkan sesuatu diriku berusaha sekuat tenaga meraihnya...

Ketika sudah berada dalam genggaman menyadari sesuatu itu...

Tak begitu berarti… tak begitu berharga… tak begitu istimewa…

Hingga ingin melepasnya… namun tangan ini enggan melepasnya…

Sakit di dada perih di hati terus menggenggamnya…

Menggenggam pecahan kaca hingga tangan ini berdarah...

Membuat otak tak berpikir waras… tak jernih… buntu...

Mengubah diri ini menjadi tak berdaya dan hampir tak mampu dikendalikan...

Bumbu-bumbu air mata menghiasi hari demi hari...

Kian hari kian menyiksa…

Butuh topangan dan dukungan… rindu terhadap mereka…

Apa daya mereka tak menyadari diri yang sudah tak berkekuatan ini…

Hingga terpuruk tak tahu akan apa yang akan diperbuat…

Mengubah semuanya menjadi seperti dahulu kala…

Ketika badai ini belum tiba… ombak ini belum menerpa…

Diri ini merasa tak lagi kuat berdiri tegak layaknya pohon…

Tak lagi kuat menahan terpaan ombak layaknya batu karang…

Hingga mulut ini mengucapkan akhirnya butuh dia, amat butuh sosok itu...

Juga butuh mereka…

13-09-09

Jangan...

Jangan memulainya jika mengakhirnya dengan sia-sia

Jangan mengundangku jika nantinya mengusirku

Jangan menggenggam tanganku jika nantinya menghempasnya

Jangan memelukku jika nantinya melepasnya

Jangan merengkuh hatiku jika nantinya menghancurkannya

Jangan mengucapkan kata manis jika nantinya berbalik kata-kata sinis

Jangan mengatakan sayang jika nantinya menyakiti hatiku

Jangan memberi harapan jika nantinya merampasnya

Jangan memberikan semangat jika nantinya mematahkannya

Jangan meminta maaf jika nantinya mengulanginya lagi

Jangan mengakhiri jika nantinya bukan akhir yang manis

Jangan menghancurkan hatiku jika nantinya tak mampu menatanya

Jangan menyakiti hatiku jika nantinya tak mampu mengobatinya

Jangan mencintaiku jika nantinya tak mampu menerimaku

Jangan mencintaiku jika nantinya meninggalkanku

Jangan mencintai diriku hanya untuk kau sakiti


12-09-09

'Beberapa' untuk 'Mereka'

Hidup ini mirip prinsip ekonomi, untuk mendapat sesuatu yang diinginkan maka harus ada yang dikorbankan. Aku mengalami itu sekarang, detik-detik belakangan ini. Hari kian hari aku kehilangan 'beberapa' untuk mendapatkan 'mereka'. Harusnya itu tidak menjadi masalah. Tapi itu akan menjadi masalah jika harapan yang kita inginkan ternyata tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada. Meski dulu aku hanya memiliki 'beberapa' dan menurut orang awam 'mereka' itu lebih baik dari 'beberapa', tapi di mataku 'beberapa' itu jauh lebih berarti dan berharga dibanding 'mereka'. Sekarang kian hari 'beberapa' kian menghindariku hingga mungkin di suatu masa di depan aku akan benar-benar kehilangan 'beberapa' untuk 'mereka' yang kian hari kian kumerasa tak layak untuk diperjuangkan. Dengan segala kelebihan 'mereka' aku akui kemampuan mereka jauh di atas 'beberapa' namun yang aku butuhkan bukan hanya itu kehebatan mereka namun juga sesuatu yang hanya bisa kutemukan dalam diri 'beberapa'. Hanya pada mereka aku merasa bisa bebas berekspresi dan diterima apa adanya serta dikuatkan di saat aku mulai goyah. Bukan seperti pada 'mereka' aku harus berusaha tampil yang terbaik dengan segala kepura-puraan, berusaha menjaga segala tingkah laku agar tidak menyinggung, dan mungkin saja juga akan ditinggalkan begitu aku jatuh. Di satu sisi aku butuh orang-orang seperti 'mereka' namun aku juga membutuhkan orang-orang seperti 'beberapa'. Aku tahu diri ini terlalu egois jika menginginkan keduanya dengan keterbatasanku, aku tak mampu merangkul semuanya. Namun hati ini juga tidak rela melihat 'beberapa' yang semakin menjauh hanya oleh karena kehadiran 'mereka'. Dulu aku sangat menginginkan 'mereka'. Bukankah itu salah satu tujuanku melibatkan diri dengan 'mereka'. Aku tak tahu meluap ke mana semangat itu. Belum lama, hanya beberapa waktu, tapi segala motivasi itu telah hancur berkeping-keping. Di saat seperti ini aku tak bisa menyalahkan 'beberapa' yang tidak lagi peduli dan menghindar. Aku telah memilih lebih berfokus kepada 'mereka'. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam aku sangat mengharapkan 'beberapa' kembali padaku sekedar menghibur bahwa semua ini pasti akan berakhir dan berlalu. Aku... Aku... Aku... membutuhkan 'beberapa' yang saat ini telah sulit kuraih kembali, telah jauh dari jangkauanku. Aku merasa bersalah telah mengorbankan 'beberapa' untuk 'mereka' yang saat ini aku merasa tak layak untuk diperjuangkan. 'Beberapa' tak akan memperlakukan aku seperti ini, sedangkan 'mereka' dengan seenaknya memporakpandakan hatiku. Satu hal yang masih kupegan teguh bahwa aku telah memilih untuk melibatkan diri dan aku tak berniat juga menarik diri. Biarlah aku tetap berada dalam lingkaran 'mereka' ini dan mengikuti permainan yang dimainkan serta akting yang diperankan. Seandainya suatu saat aku tak mampu bertahan lagi maka saat itu juga akan keluar dua patah kata yang sangat kuhindari untuk kuucapkan kemudian pergi meninggalkan 'mereka'.

Rasa hati itu...

Apakah sebuah rasa? Sesuatu yang bisa dikecapkah ataukah sesuatu abstrak yang bisa diselami dengan perasaan terdalam? Mungkin keduanya juga mampu menggambarkan empat huruf membentuk satu kata itu.

Aku memulai dengan rasa hati itu...

Berbunga...
Mungkin berwarna cerah dan membuat rasa bahagia meluap tak tertahankan. Terlalu banyak hal indah yang membuatku merasakan ini.

Perih...
Rasa yang belakangan ini semakin merenggut sisi hatiku. Entah mengapa akhir-akhir ini berbagai peristiwa di sekelilingku sedang senang memberi rasa ini pada hatiku.

Resah...
Yang ini juga tak mau kalah. Dia semakin mendomniasi aku. Semakin hari semakin ingin menguasai aku sepenuhnya.

Kalem...
Aku rindu dia. Aku rindu dia yang selalu memberikan kekuatan dan kehangatan padaku. Membuatku seakan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sakit...
Aku benci dia. Aku tak ingin dia menempati ruang hati barang satu sudut kecil pun. Namun apa daya kadang dia sempat mengisi sisi hatiku walau hanya sekejap.

Panas...
Api membara yang membakar rongga hatiku. Aku sekuat tenaga meredamnya agar tak muncul namun tetap saja tak mampu. Aku bersyukur dia tidak pernah lama tinggal di hatiku.

Sayang...
Aku berharap dia akan selalu menemaniku menjalani hari-hariku, melewati perjalanan hidupku bersama orang-orang sekelilingku.

Dingin...
Musuhnya panas ini terkadang membuatku sulit. Aku tak lagi mempedulikan lainnya dan bengong bahkan kadang pikiranku melantur entah ke mana.

Cinta...
Ini yang sering dikatakan hampir semua orang memilikinya. Meski tak semua dari mereka tahu apa sebenarnya teman yang satu ini. Cinta itu... dengan ikhlas menerima perbedaan dan rela berkorban. Begitu sederhanakah? Aku juga tak mampu menjawab rasa yang ini.

Cowokku Mantan Playboy

Cowok yang playboy sebagian besar identik dengan cool atau handsome. Mereka menganggap diri mereka pujaan cewek sehingga seenaknya melukai hati cewek dan mempermainkan mereka. Anehnya udah tau cowok playboy kok mau lagi padahal ujung-ujungnya ditinggal. Mencintai itu tanpa alasan. Meski dia playboy kalau Denada sudah suka sama dia harus nerima apa adanya termasuk nantinya dilepas gitu aja.

Denada, cewek yang biasa-biasa saja, bisa dikatakan cukup manis, tubuhnya tinggi dan lumayan langsing dan yang paling penting dia itu juara kelas. Tidak ada kata “cowok” apalagi “cinta” dalam kamusnya. Dia hanya menganggap semua cowok just friend. Bicara soal cinta memang hal yang tidak bisa ditebak. Cinta itu hal yang wajar dirasakan semua orang. Jadi, kalau Denada fall in love itu bukan big problem. Big problemnya itu Denada suka sama cowok yang udah terkenal playboy seantero sekolah. Kayak tak ada cowok lain aja padahal banyak cowok kejar Denada yang tak kalah cakep dibanding playboy itu.

Awal perkenalan mereka itu di bioskop. Denada lagi nonton bersama sepupunya. Kebetulan Denada duduk di samping Benz. Saat itu Benz sedang bersama sahabatnya. Kemudian Benz mengajak Denada berkenalan. Denada tentu kenal dia, playboy gitu lho. Tapi Benz dan sahabatnya tidak mengenalnya. Terang saja juara kelas vs playboy ya pasti juara kelas KO.

Ibarat pandangan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda. Itu berlaku bagi Benz yang giat mencari tahu lebih banyak tentang Denada. Ganknya saja heran Benz menjadikan Denada sasaran berikutnya. Denada yang tak ada mentelnya sedikitpun, tidak hobi dandan, tidak kormod, yang sama sekali bukan tipe cewek Benz. Ganknya menebak Benz ingin mencetak rekor naklukin juara kelas kali.

“Hai, Denada! Masi inget ma gue? sapa Benz saat Denada lagi antri kentang goreng di kantin.
“Oh, kalo ga salah Benz ya? Yang kenalan di bioskop kan?”
“Tepat sekali. Ternyata gue masi diinget cewek cakep.”
Gombalnya nih cowok. Emank bener dech playboy cap ayam jago.
“Kok bengong? Ntar Minggu ada acara ga?”
“Minggu ini.. kayaknya ga tuh. Mank napa?”
“Nemenin gue jalan-jalan mao ga?”
Nekad juga nih cowok. Biar gue kerjain ja.. hehe…
“Bole… tapi lu yang jemput en traktir gue sekailan ya…”
“Itu so pasti, manis.”

Denada mulai mengerjai Benz mulai dari penampilannya. Jalan sama Benz cuma pake T-shirt dan jeans plus tas selempang. Rambutnya dikucir satu. Wajahnya tanpa make-up hanya bibirnya yang dioles lip gloss warna peach. Sesampainya di mal, dia mengajak Benz pergi ke toko buku dan menghabiskan waktu dua jam di sana. Keluar dari toko buku perut Benz sudah protes, dia mengajak Denada makan di salah satu café. Di hadapan Benz, Denada sama sekali tak mengurangi nafsu makannya. Sehabis makan mereka nonton di bioskop. Bukan film romantis yang dipilih Denada melainkan Superman Returns. Denada terpesona dengan manusia baja yang ganteng abis dan tidak mengacuhkan Benz. Mank enak dikacangin. Belum selesai Benz merasa bete karena setelah itu mereka bertemu dengan ganknya. Melihat dia jalan dengan Denada, mereka ketawa habis-habisan. Istilahnya ga Benz banget dech.

Lama-lama Benz menjadi semakin tertarik dengan Denada. Setelah dia mengamati cewek itu ternyata sangat berbeda dengan para cewek yang pernah dipacarinya. Denada ga terlalu peduli terhadap penampilannya. Dia hanya tampil apa adanya dan tidak jaim. Benz menjadi semakin penasaran terhadap cewek itu. Segala rayuan gombal yang menjadi senjata ampuhnya selama ini tak mampu meluluhkan hati seorang Denada yang hanya cewek biasa.

“Gue liat lu jadi deket ma Benz,” kata Sharon.
“Ga kok. Biasa aja lagi. Lu kayak ga tao dia aja.”
Sekarang lagi waktu istirahat dan kami menghabiskannya di kelas.
“Justru itu. Gue takut lu lupa siapa dia dan terjebak.”
“Sharon, lu tao kan gue tuh susah tertarik ma cowok.”
“So tertarik ma cewek?”
“Sharon dikirain serius…”
“Hehe…”
“Denada!” teriak seseorang dari depan kelas.
“Apa-apaan nih? Gile, Benz mao nembak lu,” bisik Sharon.
‘I LOVE DENADA’ Ada sebelas anak yang masing-masing membawa satu huruf yang terdiri dari rangkaian mawar.
Benz berjalan ke temapt duduk Denada dan berlutut di sampingnya.
“Would you be my girlfriend?” tanyanya dan menyerahkan setangkai mawar.
“Apa maksud lu?”
“Gue mao lu jadi cewek gue.”
“Benz! Kalo lu pikir gue bakal nerima lu karena mawar lu itu, lu salah besar. Gue bukan cewek yang gitu gampang lu mainin. Asal lu tao ya, ga semua cewek itu bisa lu taklukin gitu aja. Lu keterlaluan!” teriak Denada sambil menginjak setangkai mawar tadi lalu pergi meningglkan kelas.
Semuanya terkejut melihat perlakuan Denada terhadap Benz. Benz benar-benar kehilangan muka kali ini. Tapi dia tidak peduli betapa malunya dirinya, yang membuta hatinya sakit adalah Denada menganggap dia playboy, sama seperti yang lainnya. OH EM JI, he’s falling in love with Denada!

Sudah genap seminggu Denada cuekin Benz. Tiap Benz ngajakin dia ngomong or sekedar say hello, Denada pasti langsung buang muka. Seperti sudah bisa ditebak, gosip seputar mereka pun menyebar di kalangan siswa. Nama baik Benz selama ini walaupun hanya sebagai playboy kini hancur di tangan seorang Denada yang hanya juara kelas. Ganknya juga berkali-kali menyuruhnya untuk meninggalkan cewek itu. Semua itu ga memperngaruhi dia. dia baru pertama kali merasakan gejolak seperti ini dalam hatinya.

Seperti biasanya Denada dan Sharon berjalan-jalan di mal sepulang sekolah. Inilah kebiasaan yang paling disukai mereka saat ini.
“Mao sampe kapan lu terus hindarin Benz?” tanya Sharon sambil mengunyah popcorn kejunya.
“Gue ga hindarin dia kok.”
“Ga hindarin dia gimana? Setelah acara dia nembak lu itu, lu sama sekali ga ngomong ma dia. Telepon ga diangkat, mez ga dibales, ngomong langsung lu cuekin.”
“Sharon, lu napa sih? Tiba-tiba ngomongin dia?” tanya Denada heran.
“Da seminggu, Nada. Gue cuma kasian ma Benz. Sepertinya dia tuh serius ma lu. Meski dia dicap playboy ga berarti dia ga bisa serius suka ma cewek kan? Kalo lu emank ga mao ma dia, lu harus tegas donk. Atau… lu sendiri juga suka ma dia?”
“Gue… em… gue… gue… ga…” jawab Denada tersendat-sendat.
“Ga usa terusin. Gue tao kok lu juga suka ma dia.”
“Ga lagi... Cuma..em…”
“Di mulut emank ga. Tapi hati sapa yang tao. Mikirin baek-baek dulu dech baru mutusin. Good Luck ya hehe…”

Enam bulan kemudian Denada jadian dengan Benz. Kok bisa? Ini berkat perjuangan keras Benz. Setelah seminggu Denada memikirkan kata-kata Sharon, akhirnya dia memutuskan membahas masalah ini dengan Benz. Pembicaraannya dengan Benz berakhir dengan sebuah kesepakatan. Apa itu? Benz harus berlaku baik, seragamnya harus rapi, ga nunjukin sikap playboy, pokoke harus jadi “cowok baik” di mata Denada. Ganknya, sesama siswa, bahkan para guru terkejut melihat perubahan pada diri Benz yang secepat pesawat jet itu. Benz yang biasanya juara lima besar dari bawah menjadi lima dari atas. Benz yang biasanya keluyuran cari mangsa saat istirahat, kini hanya di kelas, kantin, atau ke kelas Denada. Benz yang dulu anak bandel menjadi anak yang baik dan penurut. Ini benar-benar lain. Benz sekarang bukan lagi Benz yang dulu.

Dikarenakan prestasi Benz yang cukup bagus itu, dia dapat melewati UAN dengan baik. Dia sedih juga karena dia sudah lulus sedang Denada akan naik ke kelas 3. Mereka akan jarang bertemu dari biasanya. Semua kesedihannya terobati saat dia diterima Denada. Finally, hati Denada luluh oleh segala usaha keras Benz. Cowok itu nembak dia pas acara sweet seventeen nya. Birthday nya kali ini benar-benar sweet dech. So, bisakah cinta mengubah seseorang? Let’s prove it urself!

Tunangan Pura-pura ku

Kutatap langit kelabu tanpa bintang dari jendela kamarku. Langit itu seakan mendukung suasana hatiku saat ini. Teringat kejadian siang tadi di mal, air mataku kembali mengalir deras. Bukankah dasar dari suatu hubungan adalah kepercayaan. Sekarang kepercayaan itu telah tiada. Apalagi yang bisa dipertahankan dari hubungan itu.

Aku sedang berjalan-jalan mengitari mal bersama sahabatku, Carina. Hari ini Hari Minggu, tak heran terlihat banyak remaja yang sekedar mejeng maupun orang-orang dewasa yang berbelanja. Kami makan siang di sebuah restoran cepat saji. Setelah itu kami pergi ke sebuah boutique langgananku. Aku sedang memilih-milih tank top saat Carina menyenggol lenganku. Aku menatap dia dengan pandangan bertanya. Kemudian mata Carina mengarah ke kamar pas.

“Gimana, Honey? Baju ini cocok ga denganku? Bagus ga?”
“Bagus kok. Pas banget buat lu.”
“Thanx ya, Honey. Mbak, saya ambil yang ini saja. Bentar ya, ganti baju dulu, Honey.”
Rasanya udara yang ada di dalam paru-paruku akan meledak seketika itu juga. Honey? Aku saja sebagai pacarnya tak pernah panggil dia dengan sebutan itu. Salah, aku bukan sekedar pacar, aku tunangannya.
“Kita cabut aja atau mau nyamperin dia?” tanya Carina memecah lamunanku.
Aku melihat mereka berjalan menuju kasir dan aku langsung berjalan ke arah mereka.

“Hai, Bert! Kok ga ngenalin punya pacar baru?” tegurku.
Tunanganku itu tampak terkejut tapi cewek itu biasa saja. Dia malah menggandeng erat lengan tunanganku. Dapat kulihat dengan jelas kalau dia itu cewek yang mentel. Apa memang tipe cewek seperti itulah yang disukai para cowok.

Aku bertunangan dengan Alberto karena dijodohkan oleh kedua orangtua kami. Mulanya kami sama-sama menolak tapi kami jadi bertunangan mengingat kami sama-sama anak semata wayang. Sudah seharusnya membahagiakan orangtua di hari tua mereka. Toh kami masih bertunangan dan belum menikah. Lagipula tidak ada salahnya mencoba saling mencintai. Apalagi saat itu kami masing-masing belum memiliki pujaan hati. Jika dihitung-hitung bulan depan genap satu tahun sudah aku bertunangan dengannya. Sebelumnya memang ada perjanjian bahwa kami boleh membina hubungan dengan siapapun asalkan kedua pihak mengetahuinya. Sekarang dia melanggar perjanjian itu. Kurasa masalah utamanya bukan itu. Baru kusadari aku mulai mencintainya. Aku cemburu melihat cewek itu terlihat mesra dengannya. Alberto sudah menyakiti hatiku.

“Honey, dia siapa? Temen kamu ya?” tnaya cewek itu memecah kebisuan yang tercipta diantara kami.
Karena tidak mendapat jawaban Alberto, cewek itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya, “Aku Stella. Honeynya Alberto. Kamu?”
“Dia tunangan honeymu itu,” jawab Carina yang sudah berdiri di sampingku.
“Oh, masi tunangan….”
“Kurasa sudah cukup sandiwara kita. Kamu sudah menemukan cewek yang kamu cintai. Sudah hampir setahun kita masih tidak bisa saling mencintai. Kalian juga terlihat saling mencintai. Jadi, biarlah semua selesai sampai di sini. Semoga kalian bahagia,” kataku dengan gemetar karena menahan air mataku.
Kulangkahkan kakiku keluar dari boutique diikuti Carina. Beberapa meter dari pintu keluar, tanganku dicekal.
“Thleen, aku… aku… aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Tidak seperti yang kamu bayangkan.”
“Penjelasan apalagi? Aku tidak membayangkan tapi melihatnya sendiri.”
“Cathleen… please…”
“Semua da finish. Kita hanya tunangan dengan perjanjian. Kamu sudah menemukan belahan hatimu, apalagi? Atau kamu takut kedua orangtuamu sedih? Aku juga. Tapi bukankah kita sama-sama tidak merasakan apa-apa dan kamu telah melanggar perjanjian kita. Entah sudah berapa lama kamu berhubungan dengan cewek itu tanpa sepengetahuanku.”
“Hey, namaku Stella!”
“Dasar perusak hubungan orang,” cetus Carina.
“Napa? Salah? Toh mereka tidak saling cinta. Kalo bukan karena cewek ini, aku sudah bertunangan dengan Alberto. Asala
kamu tahu ya selama ini Alberto hanya kasihan sama kamu. Kamu itu…”
“Cukup, Stella!” teriak Alberto.
Aku segera berlari dari tempat itu karena air mataku tak tertahankan lagi. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Ternyata selama ini hanya rasa kasihan. Ucapan Stella telah membuka mataku lebar-lebar.

“Thleen, Cathleen, ada Alberto di bawah,” kata mama mengetuk pintu kamarku.
“BIlang saja Cathleen sudah tidur, Ma.”
Aku berusaha menghindarinya dengan berbagai alasan.
“BIlang saja Cathleen lagi ngerjain tugas.”
“BIlang saja Cathleen lagi belajar.”
Kata-kata seperti itulah yang semakin sering keluar dari mulutku.
“Cathleen, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Alberto? Kalau benar ada masalah ya harus diselesaikan bukan menghindar seperti ini,” kata mama suatu kali ketika aku melontarkan kata-kata itu lagi.

Tak terasa sudah sebulan aku menghindar darinya. Di kampus aku selalu bersama Carina. Carina maklum akan hal itu. Carina tidak masuk hari ini karena ada urusan keluarga katanya. Saat aku keluar dari kelas tanganku dipegang seseorang. Orang yang aku takuti untuk bertemu. Aku tidak kuat berhadapan dengannya.
“Thleen, please dengarkan aku kali ini.”
“Apa tidak janjian dengan cewekmu?”
“Aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi.”
“Aku turut sedih mendengarnya. Padahal kalian berdua cocok.”
“Cathleen, apa kamu lupa hari ini hari apa?”
“Tentu aku ingat. Aku sudah siap menghadapi semuanya.”
“Bagus. Ikut aku!” katanya menarik tanganku pergi.
“Kita mau ke mana?”
Dia tidak menjawab dan membawaku ke mobilnya lalu menjalankannya.

“Bert, kita sebenarnya mau ke mana? Bukankah bisa diselesaikan di kampus saja. Sama saja.”
“Tidak akan sama.”
“Huh! Aku tidak akan pernah mengerti soal cowok.”
“Tenang sajalah,” katanya sambil mengusap kepalaku.
Apa-apaan ini? Dia pikir aku seperti Stella yang bisa dibujuk dengan sepatah dua patah kata manis?

“Bagus banget… Kamu yang buat semua ini?”
“Tentu saja. Tapi dengan bantuan beberapa orang juga sih.”
Aku kagum melihat apa yang dipersiapkannya untukku. Ada sebuah pondok kecil di tengah pantai dihias dengan indah. Ada peralatan makan di atas meja kecil. Yang membuatku semakin senang ada sebuah boneka forever friends yang besar.

Dia mempersilakanku duduk. Kemudian ada beberapa orang yang menyajikan makanan kesukaanku yaitu seafood. Suasananya really beach. Alberto menyalakan lilin yang diletakkan di buah kelapa kosong yang sudah dilubangi. Selesai makan dia mengajakku berdansa. Dansa yang unik banget. Musiknya berupa suara desiran ombak dan kami sama-sama mengenakan jeans. Setelah itu dia memberikanku tujuh buah balon dan menyuruhku menerbangkannya. Katanya di dalamnya ada kertas bertuliskan “My True Love”. Dia juga memberikan sebuah botol kosong dan menyuruhku menuliskan wish di kertas yang diberikannya. Aku memasukkan kertas itu ke dalam botol dan melemparnya sejauh mungkin begitu juga dengan Alberto. Aku memandang ke hampar laut yang sangat luas. Alberto memeluk pinggangku dari belakang dan berbisik di telingaku, ”I love u, Cathleen, now and forever.” Aku tersenyum senang dan membalas, ”I love u, too,” kemudian aku mencium pipinya dan kami berpelukan di tengah hembusan angin yang lembut.

Ada pepatah,”Cinta tumbuh dari kebersamaan,” aku setuju sekali. Mulanya aku dan Alberto merasa hanya sebatas tunangan dengan perjanjian atau bisa dikatakan teman. Kebersamaan kami selama hampir setahun itulah yang menumbuhkan rasa cinta itu. Aku menjadi wanita paling bahagia karena perasaanku terbalas. (Cathleen)

Jika dibilang kita tidak sadar kalau kita mencintai seseorang hingga kita kehilangan dia, aku percaya. Aku tidak sadar sejak kapan mulai mencintai Cathleen sampai dia menghindariku. Aku rindu suaranya dan kebersamaan kami dulu meski semuanya palsu. Akhirnya kutahu betapa aku mencintainya dan sangat takut kehilangan dirinya. Aku pria beruntung yang mampu menaklukkan hatinya. (Alberto)

Enjoy ur School Time!

Kupandangi album foto berwarna biru itu sambil tersenyum. Beribu kenangan yang terukir dalam foto-foto itu. Wajah-wajah yang selalu menemaniku saat aku duduk di bangku SMA. Kini aku jarang melihat wajah-wajah itu dalam hari-hariku. Aku merasa kesepian sekali tanpa mereka. Ingin sekali mengulang semua peristiwa dulu. Meski aku harus menghadapi ujian yang amat sulit, mata pelajaran tersulit sekalipun, atau guru yang sangat tidak kusukai. Aku rela mengalami semua yang tidak enak itu asalkan dapat berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatku dulu. Rasa rinduku semakin bertambah seiring bertambahnya hari, semakin lama aku tak berjumpa dengan mereka.

Tak terasa bulan depan aku akan meninggalkan bangku SMA. Ada rasa senang dan juga sedih. Senang karena aku akan menjadi sesosok yang lebih dewasa dan memulai perjalanan hidupku sebagai seseorang yang lebih matang dan lebih bertanggungjawab. Rasa sedih tak luput dari hatiku, aku akan berpisah dengan sahabat-sahabatku yang sangat kusayangi. Jarang ada acara kumpul-kumpul dan bercanda bersama lagi. Tak dapat kupungkiri rasa takut juga menyelip di sela hatiku.

“Celine, gimana persiapan UAN lu?? Da mantap??” Sebuah pertanyaan standar yang sering dilontarkan saat detik-detik menjelang UAN yang menurut sebagian siswa amat menyeramkan. Tentu hal ini tak berlaku bagiku. Menurutku, asalkan kita belajar dengan tekun dan sering membahas soal-soal yang pernah diujiankan, plus berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa, kita pasti akan mencapai apa yang kita inginkan yaitu nilai yang memuaskan untuk ditampilkan pada STTB. Just do your best then let God do the rest!

“Celine kok ditanya, ya pasti da mantap donk. Sang juara!!!” kata Franlise, salah seorang sahabatku yang amat bawel dan sedikit tomboy.
“Wa rada ngeri-ngeri lo. Takut grogi pas jawab gitu. Ato ntar kertas w kena tetesan, robek. Ato jawaban dilingkar kurang item. Huh….” keluh Edrenia. Sahabatku yang satu ini agak pemalu dan juga suka kuatir berlebihan seperti masalah yang satu ini.
“Santai aja lagi. Wa yakin kita bakal sama-sama lulus dari sekolah tercinta ini. Cia yo!!!” seruku memberi semangat.

Tak terasa kami sudah melewati UAN. Waktu berjalan cepat sekali. Hari ini adalah hari yang sangat ditunggu oleh semua siswa kelas 3 SMA. Hari yang sangat mendebarkan karena di sekolah akan ada pengumuman kelulusan. Setelah bekerja sebaik mungkin pada saat UAN, inilah hasil yang sangat kami tungu-tunggu. Orangtua kami sendiri yang akan menerima tanda kelulusan kami. Tentunya kami tidak ingin mengecewakan harapan besar orangtua kami jadi alhasil detak jantung kami bertempo amat cepat.

“HOREEEE!!! W LULUS, CELINE!!!” teriak Franlise dengan keras sambil memelukku.
“YESSSS!!! LULUS!!!!” sambung Edrenia yang tak kalah heboh.
Ucapan “LULUS” menggema. Kulihat banyak siswa yang memegang kertas tanda kelulusan sambil berteriak, loncat-loncat, memeluk temannya, bahkan ada yang nangis sangking bahagianya.

“GILA, Celine!!! Lu dapat nilai tertinggi di kelas kita kata Pak Redo. Selamat!!!” kata Franlise menyalamiku.
“Hebat! Sekaligus menduduki peringkat kelima dari semua siswa di sekolah ini alias juara umum lima. Congratz!!!” Edrenia menimpali.
“Thanx.. Galz… Wa seneng banget bisa nerima hasil kelulusan bareng kalian. Congratz u too…”

Saat kami pergi ke sekolah kami untuk mengambil STTB sekaligus album kenangan, kami seakan enggan meninggalkan sekolah ini. Sekolah yang telah banyak berjasa mendidik kami hingga kami menjadi kami yang sekarang. Sekolah yang telah menyumbang banyak ilmu pengetahuan yang tak kami tahu. Sekolah yang banyak memperkenalkan kami pada dunia lain selain pendidikan seperti olahraga, redaksi, paskibra melalui ekstrakurikuler yang disediakan. Sekolah yang telah menemani kami bertahun-tahun lamanya, kini harus kami tinggalkan.

Hari terakhir itu aku, Franlise, Edrenia dan juga teman-teman lainnya memutuskan mengelilingi sekolah kami untuk terakhir kalinya sebagai siswa SMA. Sebab di kemudian hari kami akan datang sebagai alumni sekolah ini, bukan lagi sebagai siswa. Kami berkeliling ke semua tempat di sekolah seperti kelas kami, kantin, kantor guru, dan terakhir duduk di pinggir lapangan. Kami juga menyapa dan mengucapkan selamat tinggal kepada guru-guru dan teman-teman lainnya. Setelah ini mungkin kami akan terpisah dan berpencar. Tak tertutup kemungkinan kami tak kan berkomunikasi lagi. Jadi, kami sangat menikmati setiap detik yang ada pada hari itu.

Aku berada di negeri kangguru ini sendirian. Franlise memutuskan kuliah di Singapura dan Edrenia mengambil kuliah di Jakarta. Kami masih berhubungan hingga saat ini. Teman-teman kuliahku di sini takkan mampu menggantikan Franlise, Edrenia maupun teman-temanku yang dulu. Perhatian, kasih sayang, dan kejahilan mereka takkan mampu menandingi teman-teman lamaku. Tahun depan kelasku yang dulu memutuskan mengadakan reuni pada tanggal yang sama dengan hari terakhir kami sebagai siswa itu. Tak sabar aku menanti hari itu. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Apa mereka berubah banyak? Baru kusadari betapa indahnya dunia sekolah itu. Waktu di sekolah sangat berharga hingga tak ternilai harganya.

Hargailah siapapun yang berada di sekitarmu sekarang karena kamu tidak akan pernah tahu kapan kamu akan kehilangan mereka. Mungkin besok, lusa, atau suatu waktu.

Cinta Hilang, Cinta Kembali

“Shinta, lu curang! Tadi kan aku belum sembunyi, kenapa kamu buka matamu?”
“Habisnya kan kamu suruh aku hitung sampe sepuluh. Setelah aku hitung, ya aku buka mata donk.”
“Tapi kan….”
“Ga ada tapi-tapian. Pokoknya kamu kalah. Hukumannya kamu harus gendong aku keliling taman ini. Ayo!”
“Baiklah, apa sih yang ga buat kamu.”

Kuamati kedua anak kecil itu sementara pikiranku melayang menuju kehidupanku tujuh tahun yang lalu. Saat itu aku dan dia juga berdebat di taman ini yang pada akhirnya dialah yang harus menerima hukuman untuk menggendongku keliling taman ini. Mengapa semuanya seakan terulang kembali pada kedua anak ini ya? Aku tersenyum sendiri.

“Ih, senyum-senyum sendiri ntar dikira orang gila lho,” tegur James yang langsung duduk di sampingku.
“Emang enak duduk di bangku balok kayak gini sambil ngehayal?” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum, ”Lumayan juga daripada duduk di bangku kantin kampus sambil godain cewek.”
“Hei, itu dulu, sekarang kan ga lagi.”
“Really?”
“Sure. Sekarang sudah ada seorang cewek yang berhasil masuk ke dalam hatiku.”
“Oh ya, berarti cewek itu kecil banget ya, sambil bisa masuk ke mulut lu terus turun ke hati lu.”
Aku bukan tidak tau siapa cewek yang dimaksudnya cuma aku masih belum siap menerimanya.
¤¤¤

“Do, napa sih lu suka banget ke taman ini? Apa ada yang special?” tanya Grace yang sedang berjalan di samping Aldo.
Tentu saja dia bingung, setiap hati Aldo sedang galau, cowok itu pasti mampir ke taman ini yang didominasi anak-anak. Aldo hanya diam kemudian dia berhenti berjalan dan matanya menatap sesuatu.
“Do, lu liatin apa?” tanya Grace lagi.
Gondok juga kadang ngomong sama cowok yang satu ini. Diam melulu.

Sementara itu Cheryl sedang tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan James. Dia memang paling ahli dalam membuat lelucon. Cheryl tidak sadar daritadi ada sepasang mata yang menatapnya dari jarak sepuluh meter.

“Dia sudah bahagia dengan cowok di sampingnya. Cowok yang cukup baik untuknya. Aku saja yang terlalu mengkhawatirkannya,” kata Aldo dalam hati.
“Kita ke sana yuk, Do. Aku da lama ga naek ayunan,” ajak Grace.

“Ken?? Apa itu memang benar dia? Yang tangannya sedang ditarik cewek cantik itu? Apa benar itu Ken ku?” tanya Cheryl dalam hati.
“Lho, kok diem? Ada apaan?” tanya James sambil melihat ke arah tatapan Cheryl.
“Cowok itu kan yang membuatmu selalu ke taman ini?”
“Em…aku…aku…”
“Jangan bilang ga deh. Aku sudah tau. Sewaktu aku sendirian jalan di taman ini untuk mencari keistimewaan taman ini bagimu, aku selalu saja melihat dia sendirian melamun.”
“Ka… kamu…kamu kenal dia?”
“Aldo kan? Dia temennya Grace. Grace itu mantanku.”
“Aldo??”
“Iya. Aldo.”
Belum sempat Cheryl mencerna kata James, James sudah memanggil Grace dan Aldo.

“Grace, Do, tumben kalian ke taman. Sini!”
Aku melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kakinya.
“Ga mungkin. Dia persis Ken. Meski aku sudah tujuh tahun ga bertemu tapi aku ga mungkin salah. Mengapa bisa Aldo?” kataku dalam hati.
Aku terkejut dan tidak sadar kalau James memanggilku.
“So… sori… ada apa?”
“Nih kenalin Grace, mantanku hehehe ga papa kan Grace. Dan ini Aldo,” seru James.
Grace tersenyum sangat manis kepadaku dan menyalamiku. Aldo juga ikut menyalamiku tapi anehnya dia menghindari tatapan mataku. Tangannya persis seperti tangan Ken.
“Do, lu pasti dah kenal kan ma Cheryl?” tanya James pada Aldo.
“Cheryl?” tanyanya bingung.

“Kalian ga usah pura-pura. Kalian sama-sama senang ke taman ini, pasti ada sesuatu yang special kan? Yuk, Grace, kita ninggalin mereka berdua,” James nyerocos.
“Semangat ya, Do! Kamu sudah menemukan cintamu. Selamat!” bisik Grace.
James juga ikutan berbisik,” Dia belahan hati kamu yang hilang. Jangan biarkan dia menghilang lagi.”

“Cheryl? Em…. apa kamu itu Viola?” tanya Aldo berani.
“Kena…. ke…kenapa kamu bisa tau nama itu? Apa kamu Ken?” balasku.
Dia terdiam.
“Iya. Aku Viola. Cheryl Viola Leo. Kamu?”
“Aku….aku Kenaldo. Aku Ken.”
Aku menghambur ke pelukannya. Aku sangat rindu padanya. Dia memelukku erat. Pelukan yang tak pernah aku rasakan selama tujuh tahun.
“Di mana kamu selama ini? Mengapa kamu menghilang? Kamu tau, aku selalu menunggumu di taman ini. Aku tak pernah menggunakan nama Viola lagi karena nama itu hanya kukhususkan untukmu,” ucapku di sela tangisku.
“Maafkan aku, Viola kecilku. Aku gak sempat memberitahumu mengenai kepindahanku ke Australia. Aku baru pulang kembali ke sini tahun lalu. Maafkan aku. Aku juga tidak menggunakan nama Ken lagi karena nama Ken hanya untukmu seorang.”

James dan Grace melihat mereka dari jauh. Mereka merasa senang telah mempersatukan pasangan yang telah terpisah itu.
“Cinta monyet bisa berubah menjadi cinta sejati ya,” kata Grace.
“Berpisah selama tujuh tahun cinta mereka masih kuat. Kita hanya berpisah setahun bukan tak mungkin untuk bersama lagi kan?” kata James tersenyum.
Mereka juga berpelukan. Ini membuktikan cinta di hati mereka masih ada.
¤¤¤

Berbicara mengenai cinta memang kadang terasa menyakitkan tapi ketika cerita cinta yang menyenangkan muncul, semua luka dan kesakitan akan hilang. Cinta sejati akan menunggu di ujung jalan.

James dan Grace kembali bersatu karena mereka sadar, saat itu mereka berpisah hanya untuk memberi waktu bagi diri mereka masing-masing. Sebenarnya mereka masih saling mencintai. Ken dan Viola akhirnya bersama kembali setelah mereka berpisah selama tujuh tahun lamanya. Ken yang tidak sempat memberitahu Viola perihal keberangkatannya dan Viola yang selalu menunggunya di taman, tempat mereka selalu bertemu, sama-sama merasa kehilangan. Tapi semua itu terlupakan ketika keduanya bersatu.
¤¤¤


Medan, 13 Juni 2006

Pangeran Kecilku Kembali

Siang ini matahari sangat tidak bersahabat. Sinarnya terik sekali. Aku menunggu abangku menjemputku di gerbang sekolah. Aku mulai mengomel dalam hati. Jam segini belum jemput gue? Ntah ngerjain apa ja tuh abang gue? Pasti keasyikan pacaran. Antar ceweknya ke sana sini. Uh…sebel banget dech gue…

Tin…tin… Sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Seseorang membuka kaca mobil dan….ganteng banget tuh cowok. Dia tersenyum padaku. Hah? Aku melihat ke belakangku dan samping kiri kananku, gak ada orang. Berarti memang benar dia tersenyum padaku. Aku menggerakkan bibirku sedikit untuk tersenyum.

“Sandy kan?” tanyanya padaku.
What? Dia tau nama gue? Dari sapa? Cowok cakep tau nama gue? Masa sih gue punya fans cakep gitu. Oh no!
“Sandy bukan?” ulangnya sekali lagi.
“Eh, iya. Lu siapa ya?” tanyaku.
“Gak enak banget kalo ngomongnya jauhan gini. Perlu gue turun?”
“Gak perlu. Gue aja yang ke sana.”
“Kenalkan gue Stanley.”
Namanya aja keren sama kayak orangnya. Mimpi apa ya gue semalem.
“Gue Sandy.”
“Abang lu gak bisa jemput lu. Ada urusan mendadak, jadi gue aja yang jemput lu.”
“Hah? Lu?” kataku terkejut.
“Tenang, gak bakal gue bawa lari deh. Paling cuma tinggalin di jalan aja.”
Aku masih bengong.
“Canda lah. Yuk, cepetan, gak panas?”

Aku pun naik ke mobilnya dan duduk di sampingnya sambil berpikir keras, Temen bang Fandy? Kok gue gak pernah liat? Lagian aneh banget nyuruh dia jemput gue? Jangan-jangan ntar gue di…. Ih…. Ngeri…
“Gak usah resah kayak gitu. Perlu nelpon Fandy?”
“Eh, gak usah. Katanya ada urusan mendadak.”
“Daripada lu gak tenang gitu. Tuh ada tissue di laci mendingan lap muka lu deh.”
Wadow, gawat! Pasti muka gue pada keringetan. Dia pasti geli. Bisa rusak image gue….duh kok gue jadi khawatir kayak gini. Biasanya kan gak???
“Kita makan dulu ya. Gue laper nih kan pas jam makan siang. Mao gak?”
“Boleh deh. Terserah bang Stanley aja…”
“Hahaha… jangan panggil bang donk. Panggil Stanley aja.”
“Gue pernah liat lu dari foto aja, ketemu sih blom pernah, baru kali ini. Wajar kalo lu juga gak pernah liat gue. Gue sahabat Fandy dulu. Dulu kuliah di Singapore, baru aja balik ke Medan. Ternyata aslinya lebih cantik dari fotonya ya.”
What? Dia bilang gue cantik?
¤¤¤

Ternyata Stanley itu orangnya menyenangkan. Makan di café aja suasananya terasa hidup dibuatnya. Emank lampu bisa hidup mati hehe… Aku senang banget bisa bersama dia. Bangga karena semua mata cewek melihatku dengan pandangan iri. Hahaha…

Bang Fandy makin sering gak bisa jemput aku karena urusannya dengan pacarnya. Otomatis makin sering waktuku bersama Stanley yang cakep itu. Setelah sebulan kebersamaan kami, aku baru sadar yang aku lihat dari seorang Stanley bukan fisiknya yang bisa dikatakan nilai sembilan itu tapi kepribadiannya juga sembilan, mengingat nobody’s perfect.

Seperti biasanya kami makan di café kesukaanku dan juga kesukaannya sepulang sekolah. Tapi hari ini dia kelihatan lain. Dia resah dan bimbang.
“Stanley, ada apa? Kok resah gitu?”
“Aku… aku gak papa kok…” katanya berusaha tersenyum.
Kok pake aku-akuan segala?
“Sandy, sebenarnya aku…”
“Mbak, tadi pesen ice lemon tea ya?”
“Iya. Tadi kamu bilang apa?” tanyaku.
Dia pake aku, ya aku pake kamu, kan dia mulai duluan.
“Aku….”
“Mbak, ini fried rice seafoodnya.”
“Makasih ya…”
“Kamu apa?” tanyaku lagi.
Habis terpotong terus sih…
“Kami ingat waktu kamu kecil dulu…. Ada temen Fandy yang namanya Bodek… Yang sering main sama kamu itu?”
Bodek? Oh iya, ada temen bang Fandy yang botak dan pendek makanya dipanggil Bodek. Kok dia bisa tau. Apa hubungannya ya?
“Aku ingat. Karena dia botak dan pendek kan. Dia lucu banget deh. Kamu juga kenal?”
“Aku Bodek.”
“Hah? Maksud kamu?”
“Iya. Aku… aku Bodek yang itu.”
“Setelah aku balik ke Medan dan Fandy nunjukin foto kamu, aku merasa kamu itu beda. Dulu kamu masih manja sekali sama aku. Sekarang dari foto saja aku tau kamu cewek yang kuat. Aku yang nyuruh Fandy jangan bilang yang sebenarnya ke kamu karena aku yang akan bilang sendiri ke kamu. Aku ingin bisa menjadi pangeran kecilmu yang dulu.”
Bodek dengan Stanley? Ga ada miripnya deh. Apa mungkin? Gue aja bingung napa gue bisa anggep Bodek pangeran kecil gue padahal ga ada bagus-bagusnya tuh anak. Beda banget ma Stanley. Selain cakep, dia perhatian dan pengertian banget ma gue. Cowok idaman semua cewek. Meski gue ini agak tomboy bukan berarti gue gak bisa nilai cowok kan. Tapi ini…

“Aku suka sama kamu, San. Dulu waktu kecil, kamu bilang aku pangeranmu, aku hanya menganggapmu sebagai adikku. Tapi setelah lihat foto kamu, ada perasaan lain ditambah lagi sebulan belakangan ini. Mungkin ini terlalu mendadak buatmu. Tapi aku harap kamu memberiku kesempatan.”
Gimana ya? Gue kan belum pernah ditembak cowok sih. Jadinya bingung gini deh.
Tiba-tiba hp ku berbunyi.
“Halo?”
“Diterima aja deh. Gue da setuju kok. Papa ma Mama juga setuju.”
Suara papa sama mama? Kurang asem rupanya dia pake loudspeaker. Ya udah deh, kalo papa mama dah setuju, why not?
“Gimana? Kamu mau kan memberiku kesempatan?” tanyanya lagi.
“Aku juga suka kamu kok dan aku pasti memberikan kesempatan itu asal kamu janji gak nyakitin aku nantinya.”
“Pasti. Thanks ya, San!” katanya sambil menggenggam tanganku.

Di café kesukaan kami bersama inilah, kami memulai cerita kami berdua. Dalam suatu hubungan aku sadar tidak selalu berjalan mulus. Tapi aku yakin kami berdua pasti bisa melewatinya bersama.
¤¤¤

Medan, 13 Juni 2006

“JADE” Selamanya Bersahabat

Deline
Meskipun sudah tiga tahun aku berada di negeri Paman Sam ini, musim dingin juga tak ada bedanya dengan tahun pertamaku. Salju bertaburan di mana-mana. Suasana yang meriah dan ceria menghiasi toko-toko dan pusat perbelanjaan. Semuanya menyambut dengan gembira Hari Natal dan Tahun Baru yang semakin dekat. Aku kesepian di sini. Teman-temanku di sini semuanya menghabiskan liburannya masing-masing. Aku rindu tanah kelahiranku. Sudah tiga tahun aku tak pernah menginjakkan kakiku di sana. Apa kabar Indonesia? Apa kabar keluargaku? Komunikasi via telepon tak mengurangi rasa rinduku pada mereka. Apa kabar pula sahabat-sahabatku? Masih ingatkah kalian denganku? Atau tempatku sudah tergantikan orang lain?

Angelrica
Musim panas di sini terasa membakar kulit. Aku malas berpergian sana sini. Liburan musim panas hanya kuhabiskan di apartemenku. Mengerjakan tugas kuliahku dan mengarang novel yang merupakan hobiku sejak dulu. Negeri Kangguru bisa dikatakan tidak terlalu jauh dari negeri asalku. Tapi aku tak pernah punya kesempatan untuk pulang. Ada saja halangan seperti tugas kuliah yang menumpuk. Selain itu aku takut setelah menjenguk orang-orang terkasihku, aku tak mampu untuk meninggalkan mereka lagi. Apa kabar papa mama? Apa kabar adikku tersayang? Apa kabar para sahabatku? Nama Angelrica masih melekat kuatkah di ingatan kalian?

Joyce
Aku sangat sibuk menjalankan kuliahku di sini. Sudah tiga tahun aku tak pernah mengunjungi negaraku. Aku merasakan kekosongan di hatiku. Padahal buaknkah ini yang kuinginkan, terpisah dari keluargaku, sahabat-sahabatku, dan seseorang yang amat kucintai. Setelah berpisah aku semakin rindu pada mereka. Rindu perhatian keluargaku, rindu canda ria sahabat-sahabatku, dan rindu kasih sayangnya. Apa aku menyesali keputusan yang kuambil? Bukankah inilah jalan untuk mencapai cita-citaku menjadi seorang pelukis yang berbakat? Kini aku rindu semua yang ada di kampung halamanku yang tak dapat kutemukan di negara berseni seperti Prancis ini.

Ellyse
Dunia kuliah ternyata tak jauh beda dengan dunia SMA. Sepulang kuliah masih bisa hang out kayak SMA dulu. Tapi yang pastinya tugas kuliah itu lebih berat. Bisa kumpul bareng, belajar bareng, bercanda bareng, semuanya seakan mengulang kembali memori yang dulu. Meskipun begitu aku tetap merasa ada yang lain. Sahabat-sahabatku kini tak akan pernah bisa menggantikan tempat para sahabatku yang dulu. Kini kami berempat terpisah dalam jarak yang cukup jauh. Kami pun jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Tinggal aku seorang yang masih setia menunggu kepulangan mereka bertiga ke negeri tercinta ini.
¤¤¤

Dua tahun kemudian…
Joyce sedang berjalan-jalan sendirian di mall. Dia sudah pulang kembali ke negaranya setelah menamatkan kuliahnya di sana. Di mall inilah dia dan sahabat-sahabatnya sering menghabiskan waktu sepulang sekolah. Sementara itu Angelrica juga berjalan melewati sebuah cefe di mall yang sama. Di café inilah dia dan sahabatnya sering bercanda ria sambil makan makanan kesukaan mereka yaitu burger. Deline yang sudah pulang sejak sebulan lalu juga sedang berjalan melewati bioskop. Di bioskop inilah mereka sering nonton bareng. Ellyse yang punya waktu kosong hari itu juga berjalan-jalan di mall yang sama dan masuk ke sebuah toko buku. Di toko buku inilah mereka sering mencari bahan-bahan mading, bahan untuk tugas sekolah, atau sekedar membaca novel dan komik.

Entah apa yang mendorong hati mereka, mereka sama-sama berjalan menuju sebuah butik yang sering mereka datangi dulu. Dan di sanalah mereka berempat bertemu kembali setelah lima tahun berpisah. Joyce terkejut melihat Deline dari kejauhan saat akan memasuki butik itu dan Deline juga sebaliknya.
Joyce berkata,” Line, Deline? Apa kabar? Kebetulan sekali kita bertemu di sini.”
“Iya. Aku rindu banget sama kamu. Udah lama kita gak bertemu,” kata Deline sambil menahan tangisan bahagianya.
Di depan butik itu terjadi acara tangis-tangisan. Ellyse yang bingung melihat ada dua cewek yang berpelukan sambil nangis ingin tau apa yang terjadi.
Ellyse tak menyangka ternyata dua cewek itu sahabatnya sendiri dan dia pun menyapa mereka,” Joyce, Deline, apa kabar?”
“Ellyse!!!” kata mereka serentak memeluk Ellyse.
“Kita bertiga sudah bertemu tinggal Angelrica saja yang gak ada, sangat disayangkan,” kata Ellyse yang juga sedang menangis.
“Siapa bilang aku gak ada? Aku gak bakalan ketinggalan momen yang paling mengharukan seperti ini,” ucap Angelrica yang muncul di belakang mereka bertiga.
Mereka semuanya memeluk Angelrica dan melepas rindu. Mereka memutuskan pergi ke café kesukaan mereka untuk bercerita lebih banyak. Aneh sekali bukan bercerita di depan butik.

“Kalian kok jahat banget sih ninggalin aku sendirian di sini? Sudah itu ga ada kabar lagi?”
“Sori dech… kalian tao gak, dosen aku tuh cerewetnya bukan maen, tugasnya banyak banget. Sampe puyeng dech aku ngerjain tugas itu. Kadang malah sampe gak tidur.”
“Kalo aku tuh banyak banget prakteknya. Huh… pokoknya sibuk banget dech. Palagi mao dapat nilai dari dosen itu sulitnya minta ampun dech.”
“Aku tuh tiap minggu ada aja yang disuruh lukis. Lukis inilah, lukis itulah, ampe semua apartemenku penuh lukisanku.”
“Aku di sini sih gak gitu berat maklum di negara sendiri hehehe….”
“Finally, JADE bisa berkumpul kembali di sini. Jade tuh kan artinya permata. Berarti kita ini permata yang akan selalu bersinar meski lima taun disimpen terus. Jade itu selamanya bersahabat,” kata Joyce sok bijak.
“Huh, dasar, mentang-mentang da kuliah di luar negeri pake inggris segala,” ejek Ellyse.
¤¤¤

Medan, 14 Juni 2006

Pengagum Rahasia

“Hah! Dapat lagi hari ini? Sapa sih? Bikin orang penasaran aja,” teriakku di depan pintu rumah pagi ini.
“Tidak baik cewek teriak pagi-pagi. Malu sama tetangga,” tegur mama.
“Iya tuh, mentang-mentang ada fansnya aja. Gak usah heboh gitu deh,” tambah Choco, adikku yang super reseh.
¤¤¤

“Dapet surat cinta lagi lu?” tanya Laurence saat melihat raut wajahku.
“Like usually. From my secret admirer. Sekarang tuh problemnya gue pengen tao sapa tuh cowok. Tampangnya gimana? Kok gak berani ngomong langsung?” cerocosku.
“Kalo gue malah suka cara gini, biar kesannya lebih romantis gitu lho,” kata Laurence sambil tersenyum.
¤¤¤

Sudah tiga bulan aku menerima surat-surat yang berisi kata-kata yang romantis banget di laci mejaku, bunga mawar dan permen di depan pintu rumahku, sekarang ditambah lagi kata-kata romantis itu juga muncul di hp dan emailku. Sapa sih orang iseng ini?
¤¤¤

Hari ini Laurence tidak masuk sekolah karena demam. Aku akan menjenguknya setelah eskul nanti. Usai makan siang sendirian, aku berjalan dengan malas ke pinggir lapangan basket dan mengamati beberapa cowok sedang bermain basket. Sekolah sudah agak sepi karena bel pulang sekolah sudah berlalu setengah jam. Seorang cowok yang tak pernah kulihat sebelumnya bergerak dengan lincah melewati teman-temannya dan memasukkan bola ke ring sambil berteriak,” Princess Candy!”

Lho, itu kan nama panggilan yang diberikan pengagum rahasiaku untukku. Jangan-jangan cowok itu… Tanpa kusadari mataku telah ditutup seseorang dari belakang. Aku meraba tangannya dan memastikan orang itu pasti cowok.

“Sapa ya?”
“Tebak donk.”
Mana ada cowok yang tertarik padaku selama ini. Cowok yang dekat denganku aja gak ada di sekolah ini. Kalo sekolah lain sih ada tapi gak mungkin jam segini mereka datang. Satu-satunya yang mungkin…
“My princess Candy,” bisisk cowok itu di telingaku.
Betul kan perkiraanku. Dia itu cowok tadi.
“Kamu?”
Dia melepaskan tangannya dan berjalan ke depanku.
“Dengan hormat kuperkenalkan diriku, namaku Betrand, Princess Candy,” katanya sambil berlutut bak seorang pangeran sedang memohon pada putri.
“Hahaha…. Gak perlu gitu lagi. Ternyata kamu yang selama tiga bulan ini mengangguku terus.”
“Maafkan aku, Princess. Kalau perbuatanku selama ini tidak menyenangkan hati Princess Candy.”
“Maafmu kuterima. Tapi jangan panggil aku Princess donk. Panggil aku Candy aja ya.”
“Apapun akan kulakukan asalkan Candy bahagia.”
“Kamu ini lucu banget.”

Aku harus segera memberitahukan soal ini ke Laurence. Dia pasti pengen tau sapa cowok misterius ini. Tampangnya lumayan cakep juga. Aku yakin dia cowok yang baik.
“Oh ya, bukannya kamu ada eskul hari ini?” tanyanya yang sudah duduk di sampingku.
“Iya. Bentar lagi kok.”
“Setelah itu langsung pulang?”
“Ga. Aku mau jenguk temanku yang lagi sakit.”
“Laurence ya? Keberatan kalau aku juga ikut dan setelah itu kita jalan-jalan sebentar?”
“Iya kok kamu tau. Ya, bole juga sih.”
“Apa sih yang aku gak tau tentang kamu?”
¤¤¤

Setelah tiga bulan tahap pengenalan dan pendekatan kami, aku dan Betrand akhirnya jadian juga. Kalau dia sih tak perlu susah-susah buat ngenal aku karena dia sudah tau semuanya tentang aku.

Ternyata hubungan kami tidak selalu mulus. Meski dia begitu baik, kadang-kadang kami masih juga ribut. Apalagi yang namanya cemburu itu tak dapat dihindari. Kami tak bisa marahan lebih dari seminggu. Alhasil hubungan kami sejauh ini masih bisa dipertahankan. Bulan depan hubungan kami akan memasuki tahun ketiga.

Dipikir-pikir lucu juga ya. Aku bisa jadian sama pengagum rahasiaku. Aku selalu berdoa semoga aku dan dia selamanya bahagia. Pertengkaran-pertengkaran kecil menghiasi hari indah kami berdua. Soalnya katanya pertengkaran itu bumbu cinta.

“Candy, kamu ini gimana sih? Tadi kan aku da nelpon kamu suruh kamu siap!”
“Sabar dikit donk. Kan mao ketemu camer jadi harus lebih rapi. Bawel!”
¤¤¤

Medan, 15 Juni 2006

Terlambat Sudah

Kelamnya malam tak dapat menandingi kelamnya hatiku pada malam itu. Sampai detik ini, tak mampu kutepiskan bayangan hitam yang menghantuiku. Tiga tahun yang lalu, hari terindahku menjelma menjadi hari terburuk dalam hidupku. Detik saat kuketahui dia pergi dariku mengubah semua mimpi indah yang telah kubangun menjadi mimpi buruk yang menyiksaku. Susah payah kubangun perasaanku padanya. Ternyata dia rusak begitu saja.

14 September 2002, tanggal yang akan kuingat selalu. Saat aku mulai merasakan getaran-getaran cinta yang ada di hatiku, di kamar yang selalu menemaniku suka maupun duka. Salah seorang sahabatku menelepon dan memberitahuku kabar penting yang sangat tak ingin kudengar. “Del, Anly, Del, dia…. dia sudah berangkat ke Jakarta dua jam yang lalu. Aku tau dari sepupunya yang kebetulan nelpon aku tadi. Kamu jangan sedih ya….”

Tak mampu lagi kubalas kata-kata Sheron. Jangan bersedih? Aku juga ingin, tapi apakah aku bisa untuk tak bersedih. Apa aku bisa menahan air mata yang terlanjur membasahi pipiku? Apa aku bisa melupakan kata-kata Sheron yang terlanjur singgah di telingaku dan melekat di pikiranku? Apa aku bisa? Malam ini menjadi malam paling indah karena aku mulai jatuh cinta dengannya setelah kurang lebih tiga bulan kedekatan kami. Sekaligus malam yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Jika aku salah seorang terpenting dalam hidupnya, salahkah dia memberitahukan keberangkatannya? Salahkah dia memintaku menunggunya? Aku pasti akan menunggunya kembali. Saat datang dalam kehidupanku, dia membawa banyak kebahagiaan yang mengisi hari-hari indahku. Lalu mengapa kepergiannya meninggalkan kesedihan dan luka yang membekas?

Tiga tahun silam sudah, namun semuanya masih melekat kuat di benakku. Salahkah aku mencintainya? Salahkah aku mengaharapkannya? Salahkah aku memberinya kesempatan? Yang pada akhirnya membuatku sengsara. Merasa dipermainkan dan tidak dihargai. Tapi ini semua bukan kemauanku. Aku hanya menuruti kata hatiku yang terlanjur mencintainya meskipun kenyataannya terasa sakit.
¤¤¤

Hari Senin pagi seperti biasa aku menjalankan rutinitasku. Awal kegiatanku yaitu pergi ke kampus. Aku mengambil jurusan manajemen bisnis. Kuputuskan memilih jurusan itu mengingat tuntutan bisnis orang tuaku yang dikelola secara turun temurun. Aku anak semata wayang kedua orang tuaku sehingga mau tidak mau aku harus mengurus perusahaan milik papa yang bergerak di bidang ekspor impor itu.

“Del…. Temenin aku ke perpus donk. Mao nyari bahan nih…” teriak Sheron berlari menyusulku yang sedang berjalan di lapangan parkir.
“Napa harus?” godaku.
Sheron mengambil jurusan arsitektur. Dia memang jago menggambar dan mempunyai ide-ide yang cemerlang.
“Ayolah, Miss Fidelia Monica yang cute banget. Temenin aku donk…” bujuknya.
“Baiklah. Mana tega aku biarin temanku yang manis ini sendirian. Hehe…”
Beginilah hari-hariku diisi canda ria kami. Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti Sheron yang selalu siap sedia kapan saja aku butuh.

“Sheron, Fidelia, da anak baru. Orangnya cakep banget lo. Aku juga baru ketemu dengannya. Tuh anaknya ada di bagian sejarah,” bisik Merlyn, teman sejurusanku.
Aku dan Sheron hanya tersenyum. Siapa sih yang tidak mengenal Merlyn? Cewek populer di kampus kami. Wajahnya cantik banget dan tubuhnya juga ok banget. Heran saja, tak seorang cowok pun yang nyangkut di hatinya. Semuanya hanya dijadikan untuk kesenangannya saja.
¤¤¤

Sambil menunggu Sheron mencari buku yang diperlukannya, aku memilih membaca sebuah buku mengenai objek-objek wisata negara-negara di dunia. Sungguh ingin mengunjungi semua tempat yang ada di gambar dalam buku itu. Kurasakan ada seseorang yang duduk di depanku tapi tak kupedulikan karena sudah terpesona dengan keindahan objek wisata yang sedang kulihat.

Setengah jam berlalu, orang di depanku berkata,”Terlalu serius membaca atau memang sengaja tak ingin melihatku?”
Suara itu, lama sekali tak kudengar, darahku seakan membeku dan berhenti mengalir. Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. Dia juga menatapku. Kuamati dirinya tak jauh berubah. Hanya makin tinggi dan makin kurus.

“Kaget? Aku baru saja di sini. Ini hari pertamaku.”
“Untuk apa kamu kembali?”
“Untuk berjumpa kembali denganmu.”
“Setelah pergi begitu saja?”
“Maafkan aku.”
“Maaf? Setelah mempermainkan perasaanku dan pergi tanpa kabar. Kamu hanya bisa bilang maaf?”
“Aku menyesal. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
“Kembali? Kita tidak pernah memulainya.”
“Tapi kamu mencintaiku kan? Aku tau kamu sedih tapi sungguh aku benar-benar menyesali semuanya. Aku ingin kita memulai semuanya yang tertunda.”
“Begitu mudahkah?”
“Lalu aku harus gimana? Aku akan melakukan apapun agar kita bisa memulai lembaran yang baru.”
Tak terasa air mataku pun mengalir.
“Aku sudah memaafkanmu di malam saat kamu pergi.”
“Del…. Aku…”
“Maaf, mungkin dulu aku memang mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tapi sekarang aku tidak bisa menerimamu lagi.”
“Apa ada orang lain yang telah mengisi ruang di hatimu?”
“Tidak. Tiga tahun yang lalu, kamu pergi begitu saja, sekarang kamu kembali dan muncul tiba-tiba di hadapanku. Aku tidak mungkin bisa menerimamu. Aku juga tidak ingin mengetahui alasanmu pergi tanpa kabar. Tapi satu hal yang harus kamu ketahui secara jelas. Kita tidak mungkin memulai kembali. Setelah sakit dan perih hatiku berhasil kukalahkan, pintu hatiku sudah tertutup rapat untukmu. Semuanya sudah terlambat. Maaf…”
Dapat kulihat air mata membasahi wajahnya. Aku juga terluka. Kuakui aku masih mencintainya tapi entah kenapa aku tak bisa menerimanya dalam hidupku.

“Del… lho? Anly? Kamu kok… Del, lu kenapa?” kata Sheron bingung saat menemuiku.
“Ayo kita pergi. Sampai jumpa, Anly!” kataku sambil menghapus air mataku.
¤¤¤

Kuceritakan semuanya pada Sheron dan dia mengerti. Katanya mungkin luka di hatiku lah yang tak bisa menerimanya kembali. Mungkin juga. Dulu, sekarang, dan selamanya aku akan mencintainya karena dia cinta pertamaku tapi sudah tak mungkin aku membuka pintu hatiku untuknya lagi. Terlambat sudah. Kesempatan itu telah pergi.
¤¤¤
Medan, 24 Mei 2006

My Life Adventure

Rumah berpagar putih itu berdiri dengan gagahnya di hadapanku. Kupandangi rumah itu tak banyak berubah. Hanya tampak sepi. Rumah megah ini dulunya milikku. Tempat yang paling nyaman bagiku untuk berlindung dan juga merupakan kediaman mantan pacarku. Beribu bayangan kenangan melintas di benakku hingga aku kembali mengingat dengan jelas kejadian silam yang membuatku kehilangan istanaku ini.

Dulu ada dua buah keluarga hidup bahagia di rumah ini, keluargaku dan keluarga Steve. Mama Steve adalah adik angkat papaku. Karena kebersamaan kami itulah akhirnya aku dan Steve berpacaran. Tentunya setelah mendapat persetujuan kedua pihak keluarga. Setelah sekitar satu tahun hubungan kami berjalan, perusahaan papa terlibat hutang pada bank padahal papa tidak pernah berhutang pada siapapun. Memang sudah tiga bulan ini papa mempercayakan perusahaan kepada papa Steve karena beliau menghadiri pesta rekan bisnisnya di Perancis. Mama juga beserta untuk berlibur di sana. Setelah menghadiri pesta, kedua orangtuaku akan berkeliling dunia. Tak sampai sebulan sejak kepulangan papa, sudah terjadi hal yang sangat mengejutkan bagi kita semua. Belakangan diketahui ada koruptor di perusahaan. Perusahaan yang sudah berdiri selama duapuluh tahun itu hanya dikelola oleh orang-orang kepercayaan papa berarti ada musuh dalam selimut.

Atas persetujuan papa, masalah ini diusut oleh seorang teman baik papa tanpa diketahui siapapun, kecuali aku dan mama. Papa menjadi semakin shock ternyata koruptor itu adik iparnya sendiri. Akibat hutang yang tidak sebanding dengan kondisi keuangan perusahaan, perusahan pun memasuki zona kritis dan diperkirakan takkan bertahan lama alias bangkrut. Sakit jantung yang sudah diderita papa sejak tiga tahun lalu semakin parah dan papa meninggal sebulan setelah perusahaan dikatakan gulung tikar.

Sejak ketiadaan papa, mama menjadi tidak punya semangat untuk menjalani kehidupannya. Kalau kalian bertanya tentang hubunganku dengan Steve, apa yang akan kulakukan terhadap orang yang telah menghancurkan perusahaan dan keluargaku? Yang jelas hubungan kami semakin dingin meski tak sampai mengucapkan kata pisah ataupun putus. Aku juga enggan bertegur sapa dengan Om maupun Tanteku. Hatiku terlalu sakit.

Tiga bulan berikutnya, aku dan mama kembali harus menelan kenyataan pahit. Rumah yang telah didirikan dari hasil jerih payah papa dan yang telah didiami kedua orangtuaku selama hampir duapuluh tahun, bahkan sebelum aku lahir itu disita oleh pihak bank dan dibeli kembali oleh Om. Om juga mengambil alih perusahaan papa yang lama dan mengubah nama perusahaan serta merekrut orang-orang baru. Tak hanya itu, Om dan Tante bahkan tak mengijinkan aku dan mama untuk tetap tinggal di rumah. Pada suatu hari Minggu yang cerah, aku dan mama diusir dari rumah.

Dengan linangan air mata, mama memohon, “Jangan usir kami Ton. Kami mau tinggal di mana? Ellyse juga masih sekolah. Bagaimana dengan masa depannya. Kasihanilah kami Ver…”

“Mengapa Om begitu tidak berperasaan? Tidak ingatkah Om, papa sudah menampung keluarga Om selama sepuluh tahun?” aku menambahi.

Om menjawab dengan lantang, “Kau tidak tahu apa-apa. Selama sepuluh tahun itu aku tak pernah diberi jabatan penting padahal aku adalah satu-satunya adik iparnya. Saat kesempatan emas itu muncul maka aku segera meraihnya.”

Tante juga berteriak keras di telingaku,” Dengar ya, Lis… Aku adik tunggal papamu meski hanya angkat tidak pernah menikmati kekayaannya yang melimpah malah mamamu yang dengan senangnya menikmati semuanya. Sekarang kalian boleh mengangkat kaki dari rumah ini. Rumah ini bukan milik kalian lagi. Ingat! Jangan pernah kembali lagi!”

Aku tetap bertahan untuk tidak menangis di hadapan mereka. Setelah keluar dari rumah, aku dan mama memutuskan untuk tinggal di hotel. Beberapa hari kemudian kami memutuskan untuk mengumpulkan uang milik kami yang masih tersisa di tabungan dan pergi ke Singapura untuk menetap. Dengan uang pas-pasan kami bertahan hidup. Aku putus sekolah dan memutuskan untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Mama tak kuijinkan bekerja. Aku berusaha keras untuk membiayai seluruh kebutuhan kami. Aku harus kuat, itu yang kutanamkan dalam hatiku. Dengan uang yang kusisihkan sedikit demi sedikit akhirnya aku dapat menamatkan sekolahku pada umur duapuluh tahun dengan berhenti sekolah selama dua tahun. Setelah itu, aku melanjutkan studi ke universitas dengan meraih beasiswa.

Dalam empat tahun aku berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Dapat kulihat air mata bahagia mama memandangku berdiri di podium. Tiga tahun kemudian, inilah aku yang sekarang. setelah perjuangan keras selama beberapa tahun kulalui, aku berhasil meraih prestai yang gemilang. Sekarang aku sudah menjabat sebagai manajer di sebuah perusahaan asing yang telah memiliki banyak cabang di seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, tak ada lagi penderitaan, seluruh hasil kerjaku kudedikasikan kepada mama agar tidak lagi merasakan pahit di sisa hidupnya.

Minggu lalu aku kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku untuk mewakili perusahaanku mengadakan kerjasama dengan perusahaan di Indonesia. Aku sengaja mampir ke rumahku yang dulu sendirian sementara mama berada di hotel. Aku mengajak mama kembali karena aku tahu mama sangat rindu kampung halamannya. Tapi takkan kuijinkan mama berkunjung ke rumah ini lagi meski banyak kenangan yang telah kami lewati. Tangisan, canda, tawa, dan kehebohan selalu menghiasi suasana rumah ini.

Tak terasa air mata jatuh menetesi kerah kemejaku mengingat kejadian pahit yang pernah kualami dan juga kandasnya hubunganku dengan Steve. Aku tak pernah berhubungan dengannya lagi setelah aku pergi dari negara ini. Terdengar suara deru mobil menuju rumah ini. Aku segera bersembunyi di balik pohon besar depan rumah. Mobil berhenti di depan rumah disusul seorang pria dan wanita keluar dari mobil. Wanita itu cantik dan anggun. Mereka berjalan beriringan kemudian si pria berbisik pada wanita itu dan berjalan balik ke belakang mobilnya.

“Keluarlah!”

Aku terkejut sejenak kemudian menampakkan diri.

“Apa kabar? Sudah lama tak berjumpa dengamu?” sapanya.

“…”

“Ke mana saja kamu selama ini? Aku mencarimu.”

Aku masih terdiam dan mengamatinya. Dia makin tinggi dan agak kurusan serta mapan. Tatapan matanya tetap teduh yang membuatku betah menatapnya lama-lama.

“Kenapa tidak pernah memberi kabar padaku?”

“Kabarku baik seperti yang kamu lihat. Aku meninggalkan Indonesia setelah diusir secara tidak hormat dari rumah ini.”

“Lis.. Kumohon jangan…”

“Maaf, Steve, tapi kurasa sampai kapanpun aku takkan pernah melupakan semua itu.”

“Lis.. kamu tahu.. aku senang dapat melihatmu kembali.. Aku…. Aku masih mecintaimu..”

“Aku takkan kembali. Lusa aku akan pergi lagi. Steve, bukankah kamu bahagia selama ini? Hidup berlimpah kekayaan dan… ditemani wanita cantik..”

“Bukan… dia itu cuma…”

“Cuma calon istri dan belum menjadi istrimu, iya kan?”

“Lis… dengarkan aku please...”

“Sekali lagi maaf, Steve. Aku harus pergi sekarang. Selamat tinggal!”

“Lis…”

Segera kutepiskan tangannya dan berlari kecil menuju ujung jalan tempat mobilku berhenti.
Inilah keputusan yang kuambil. Semoga aku mengambil keputusan yang tepat. Melupakan semua hal yang berkaitan dengan mimpi burukku. Aku masih mencintai Steve, sampai selamanya dia tetap menempati bagian di hatiku, namun aku tak bisa menerimanya kembali hadir dalam kehidupanku sekarang ini. Biarlah kenangan bersamanya terkubur dalam rumah itu. Aku akan mengingat semuanya sebagai kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan pahit akan kulupakan begitu aku meninggalkan negara ini lusa. Inilah kisah petualangan hidupku. Seorang gadis SMA yang hidup berkelimpahan harta dalam sekejap kehilangan semuanya dan harus berusaha hidup susah dan mencoba ha-hal baru yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Seberat apapun itu, aku bangga karena aku mampu melewati itu semua. Aku juga bersyukur pada Tuhan karena Dia masih membimbingku melewati ini semua.

cafe itu mempertemukan aku dan dia

Sudah berhari-hari aku menjadi pelanggan tetap café ini. Alasan sebenarnya aku di sini bukan untuk makan dan minum karena itu bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku menghabiskan waktuku di sini untuk sesuatu yang tak jelas. Hanya duduk termenung ditemani segelas cappuncino kadang sebuah buku. Namun entah mengapa aku sangat betah berada di sini. Di sini aku bisa menemukan ketenangan dari hiruk pikuk kehidupanku, tak ada yang menggangguku, tak ada yang menghiraukanku, hanya kusendiri di sini.

Tak terhitung berapa hari lamanya, mungkin sekitar seminggu aku sering berkunjung ke café ini. Sebenarnya café ini hampir sama konsepnya dengan café pada umumnya. Tempat orang makan dan minum atau nongkrong dan gosip, tapi sayangnya bukan itu yang kucari di sini. Di sini aku mendapat sebuah tempat untuk kuberdiam dan hanyut dalam kegiatanku sendiri. Menulis, itulah pelampiasanku yang terutama. Aku sangat senang melakukannya karena terus terang aku bukan orang yang mudah mempercayai orang lain jadi tulisanlah tempat kumencurahkan isi hatiku. Aku selalu membawa laptop kesayanganku dan duduk manis di sini ditemani segelas cade latte.

Selama dua tiga hari ini aku selalu melihat gadis itu di sini. Dia selalu datang dengan laptopnya dan duduk di pojok café. Mungkin dia butuh konsentrasi untuk memindahkan apa yang ada dalam pikirannya. Aku duduk di pojok yang satunya lagi dapat melihat dengan jelas gadis iu. Wajahnya cukup manis, putih dan lembut. Rambutnya sebahu dan tubuhnya dapat dikategorikan proporsional. Secara keseluruhan dia termasuk kategori cewek yang diidamkan para cowok. Dia selalu datang dan pergi sendirian. Gayanya sangat santai tapi aku merasakan bahwa dia amat rapuh.

Entah ingatan aku yang sedang buruk atau aku yang terlalu peka, mengapa aku merasa melihat pria yang sama di pojokan sebelah sana akhir-akhir ini. Terus terang dia salah satu dari sekian orang yang menarik perhatianku. Dia selalu ada sebelum aku datang dan hingga aku beranjak dia tetap duduk di sana dalam keheningan. Dia cowok yang lumayan menjadi idaman para cewek dengan tinggi tubuhnya yang menjulang dan proporsional, garis wajahnya tegas, hidung mancung, alis matanya yang tebal, dan lesung pipi menghiasi wajahnya dengan cukup sempurna. Dia seperti larut dalam dunianya sendiri dan aku merasa bahwa dia sedang merasa bimbang, tak tahu arah dan merasakan kekosongan dalam hatinya.

Hari ini aku memutuskan untuk mengikuti gadis itu. Seperti biasanya aku memesan segelas cappucino dan kebetulan aku membawa sebuah buku untuk menemaniku hari ini. Sekitar setengah jam kemudian gadis itu terlihat di pintu masuk menyapa ramah pelayan dengan senyum manisnya dan berjalan ke pojokan seakan itu memang khusus disediakan untuknya. Dia memesan segelas café latte dan memulai kegiatannya mengetik dengan wajah yang membuat hatiku hanyut. Tak berapa lama aku mengamatinya, setetes, dua tetes, dan tetes-tetes air mata berikutnya membasahi pipinya. Ingin sekali aku menghampirinya dan merangkulnya serta menghapus air matanya.

Saat kumemasuki café aku kembali melihat pria itu duduk di pojokan yang biasa dengan segelas cappucino tetapi hari ini dia tidak duduk termenung tetapi sedang membaca sebuah buku yang aku tak bisa menangkap dengan jelas tentang apa. Aku pun memulai kegiatan menulisku dan semakin menyatu di dalamnya hingga tak terasa air mata ini ikut keluar dari persembunyiaannya. Aku melirik pria itu, dia sedang tenggelam dalam bacaannya dengan wajah serius dan tetap aku merasakan dalam dirinya itu ada kekosongan. Hari sudah mulai gelap dan aku memutuskan untuk pulang.

Aku tak berhasil mengikutinya karena begitu dia meninggalkan café, dia menaiki angkutan umum dan aku tak mungkin menaiki angkutan umum yang sama. Aku tak ingin dia mencurigai aku mengikutinya. Aku hanya diam terpaku melihat angkutan umum itu membawanya semakin jauh.

Sudah dua minggu aku melihat pria yang sama di pojokan itu sepertinya dia juga penggemar café ini sama seperti aku. Saat kulangkahkan kakiku memasuki café aku tertegun sejenak, dia tidak ada di sana. Biasanya dia selalu duduk diam di sana. Sebersik rasa rindu akan kehadirannya tiba-tiba muncul. Aku segera mengenyahkan perasaan itum aku bahkan belum mengenal dirinya sama sekali.

Akhir-akhir ini aku datang agak sore ke café karena ada kuliah tambahan. Seharusnya gadis itu masih ada di café namun sudah beberapa hari ini dia tidak berada di sana, muncul semacam rasa kehilangan akan dirinya. Aku merasa diriku sangat aneh, aku bahkan belum mengenalnya.

Seminggu berlalu tanpa kehadirannya, hari ini aku agak terlambat ke café dari seharusnya karena aku harus mengerjakan beberapa tugas kelompok di kos temanku. Untunglah café ini letaknya lumayan dekat kampus dan tempat favoritku di pojokan seakan terisolasi dari sisi lain café itu sehingga aku tidak merasa terganggu. Aku agak lelah hari ini. Aku tidak memulai kegiatan menulis hanya duduk tenang dengan segelas café latte.

Saat kumemasuki café aku melihat pesanan gadis itu , café latte, karena biasanya dia memesan itu, baru diantarkan pelayan. Itu berarti dia baru saja tiba di café, tak seperti biasanya dia datang agak sore seperti ini. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Tak tahu muncul keberanian dari mana. Aku ingin sekali berbicara dengannya dan mengenalnya lebih dalam.

“Hai, boleh aku duduk di meja ini?”

Aku tertegun sejenak. Pria itu menghampiriku dan ingin duduk semeja denganku. Aku melirik pojokan tempat biasa dia duduk. Meja itu masih kosong.

“Sepertinya mejamu masih kosong.”

Jawabannya membuatku terkejut. Dia tahu selama ini aku duduk di pojokan itu. Dia memperhatikanku.

“Oh… bukankah kalau ada teman bicara itu akan lebih baik,” kataku melemparkan senyuman tulus.

“Maaf. Tapi aku sedang ingin sendiri,” ucapan itu keluar dari mulutku tanpa kubisa mengontrolnya.

“Baiklah kalau begitu.”

Beberapa hari selanjutnya suasana aku dan gadis itu diselimuti awan dingin. Setiap kali aku menatapnya, dia memalingkan wajahnya dan kembali mengetik. Dia menghindari kontak mata denganku. Dia seakan menutup dirinya untukku. Aku dapat merasakan di balik kekerasan itu terdapat kerapuhan. Aku ingin sekali menghampirinya dan merengkuhnya, membenamkan wajahnya di dadaku dan mengatakan padanya bahwa aku selalu berada di sini bersamanya. Aku ingin sekali mengusap rambutnya, membelai lembut pipinya dan mengatakan padanya bahwa jangan menodai pipi mulus itu dengan air mata karena aku akan memberikannya kebahagiaan.

Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Sejak kalimat penolakan kulontarkan, kami seakan terpisah jarak meski tak saling mengenal. Aku selalu mengalihkan pandanganku jika tak sengaja bertatapan dengannya. Di sisi terdalam hatiku, aku ingin sekali dia datang menghampiriku dan duduk bersamaku. Aku ingin sekali mengisi kekosongan yang meliputi hatinya. Aku ingin memeluknya dan memberi sinar keceriaan kepadanya. Aku ingin berlindung di dalamnya.

Akhirnya aku tak kuasa menahan gejolak dalam diriku. Aku memutuskan untuk mencobanya lagi karena aku merasakan dia sebenarnya merasakan hal yang sama denganku.

“Sore Mas, Mbak nya sudah ada di dalam,” sapa pelayan café itu dengan senyuman seakan dia mampu menebak pikiranku.

“Bolehkah aku duduk di sini?” tanyaku ramah kepada gadis itu.

Sore ini dia tampak manis sekali. Dia berhenti mengetik dan memandangiku.

Suaranya menghentikan kegiatan menulisku. Aku terpaku memandanginya. Dia sangat tampan sekali. Aku merindukannya, aku mengakuinya. Aku merindukan sosok sepertinya untuk menemani aku. Meski aku tak mengenal dia namun hati ini merasa nyaman bisa melihatnya tersenyum seperti itu.

“Maaf, bolehkah?” kubertanya sekali lagi karena tak ada jawaban dari mulut gadis itu.

“Sss… Silakan.”

“Terima kasih. Kenalkan nama saya Lexiano. Biasanya dipanggil Leno.”

Akhirnya setelah sekian lama menunggu, aku berhasil berkenalan dengannya. Namanya Sangueennia. Teman-temannya memanggilnya Nia. Aku lebih suka memanggilnya San-San. Kami bercerita banyak mengenai dunia kampus hingga dunia pertemanannya dia. Ternyata San-San tidak sependiam itu dan benar dia serapuh itu. Keras di luar, rapuh di dalam. Aku akan menguatkannya jika dia mengijinkanku suatu hari nanti.

Namanya Lexiano biasanya dipanggil Leno, aku lebih suka memanggilnya Lexi. Ternyata aku cepat sekali akrab dengan dia. Kami bercerita banyak tentang perkuliahan hingga pertemanan. Tebakanku benar bahwa dia merasa kosong dan kesepian dan aku akan mengisinya jika dia mengijinkannya suatu hari nanti.

Aku kembali ke café ini dengan kegiatan menulisku. Ada seseorang menarik kursi di hadapanku dan duduk. Itu Lexi. Sejak perkenalan itu kami duduk bersama jika kebetulan berada di café dan tentunya kembali ke kegiatan masing-masing. Dia dengan segelas cappucino dan duduk manis memandangiku bukan lagi tatapan kosong.

Kulihat dia sedang mengetik seperti biasanya, aku segera menghampirinya dan duduk di depannya. Tak ada yang berubah. Dia tetap dengan laptop dan segelas café latte hanya kerapuhan dalam dirinya aku merasa berkurang sedikit entah itu karena aku ataukah sesuatu hal lain.

“Lho, ga duduk pisah lagi ya Mas ma Mbak. Begini lebih bagus jadi ga sendiri-sendiri. Ada teman kan lebih asik,” kata pelayan itu sambil meletakkan café latte dan cappucino di meja kami.

Bandung, 31 July 2009

sebuah arti

batang pohon sekokoh apapun suatu saat akan ada yang mengalahkannya.

arus laut sederas apapun suatu saat akan tiba saatnya dia reda.

hati seseorang sekuat apapun suatu saat akan sampai waktunya dia tergoyahkan.

mental seseorang sekuat apapun suatu saat akan tiba waktunya dia tergoyahkan.

sepertinya aku sedang merasakan fase seperti ini. saat-saat yang diam, tak berdaya, pikiran dan hati kosong, meski tak terpuruk tetap saja tak ada makna. sesaat ku menginjakkan kaikiku di kota pilihanku ini aku disibukkan oleh kegiatan kampus. namun beberapa hari kemudian di saat kegiatanku hanya beberapa dan tak begitu padat, di saat aku memiliki banyak waktu untuk dinikmati, malah muncul sebuah pikiran bahwa kesibukan lebih baik dari keadaan itu. meski aku telah mengisi waktu kosongku dengan berjalan-jalan dan bersenang-senang bersama teman-temanku tetap saja hatiku terasa mati, tak ada tanda kehidupan sama sekali. ada apa dengan aku ini? aku tak pernah seperti ini sebelumnya. setahun yang lalu aku sangat menikmati suasana di kota ini dengan berbagai hal baru yang menantang. kini terasa hitam putih tak berwarna. adakah dalam diriku yang salah? kuakui segala sesuatunya berubah lumayan pesat. kehidupan kampusku dimana aku mengenal lebih banyak teman, dosen, dan hal yang berkaitan dengan tempat kumenimba ilmu itu. kehidupan rumahku yang kini berubah menjadi kos. aku tak lagi memakai kata "rumah" karena sesungguhnya aku tak menemukan makna rumah apapun di sana. bahkan kadang aku merasa seperti suatu tempat yang membuatku bagaikan ikan yang harus bernapas dengan labirin di lumpur atau seekor burung di sebuah kebun binatang yang hanya bisa menunjukkan keindahannya pada pengunjung yang datang. aku ingin seperti ikan di laut yang bisa bernapas sewajarnya dan mengitari samudera yang luas dan aku juga ingin menjadi burung yang terbang bebas di angkasa membuat terpukau semua orang. kadang aku merasa aku mengalah di sisi lain mereka merasa aku egois. kadang aku merasa mereka egpis di sisi lain mungkin mereka merasa telah mengalah. apapun itu tidaklah penting, yang terpenting mereka tak merasakan tersiksa dan sakit itu sedang aku merasakannya. pertahananku pernah roboh dan aku menatanya kembali. kali ini aku merasakannya roboh lagi. mungkin karena inilah apapun yang kunikamati di luar sana setelah kembali tetap aja hatiku kosong. aku rindu rumahku sendiri meski aku ditegur bahkan dimarahi sekalipun tak pernah ada dendam. dulunya besar harapanku aku akan menemukannya namun jangankan menemukannya bahkan hak untukku bernafas tak sepenuhnya kumiliki. kesalahan mungkin ada padaku tapi bahkan aku sendiri tak mengerti di mana letak kesalahanku itu. selama aku mash bisa bertahan aku berjanji pada diriku dan keluargaku pasti aku bertahan. namun jika pertahananku tak lagi bisa kubangun aku juga tak berdaya lagi. itulah saatnya aku pergi, mungkin di luar sana aku akan bernafas lebih lega dan tak sesakit ini.

Sepenggal pembelajaran sehari semalam

Sabtu siang tepatnya tanggal 18 Jili 2009 aku berkumpul di himpunan bersama dengan teman-teman himpunan lainnya untuk mengiikuti diklat yang akan berlangsung hingga besok siang. Perasaanku saat itu sulit ditebak seperti apa. Aku tidak begitu gugup, tidak begitu tenang. Setibanya di sebuah vila di Istana Bunga dengan no. F-11 kami mulai melihat kamar yang akan ditempati selama semalam. Acara dimulai dengan ice-breaking yaitu games. ada yang namanya Zip Zap Flip Flop dan aku termasuk salah satu yang kalah. Kemudian dilanjutkan ke permaiinan yang kedua. Dari masing-masing permainan dicari lima orang yang kalah untuk menjalani hukuman meniiup balon hingga pecah. Balonku tidak berhasil pecah dan dipecahkan. Sebenarnya sebelum aku sudah pernah melakukan ini bukan untuk hukuman melainkan salah satu rangkaian acara dari seorang motivator. Selanjutnya ada istirahat dimana perut-perut mulai keroncongan sehingga ada sebagian yang jajan cuanki. Kami berkumpul kembali untuk makan malam dan selanjutnya dilanjutkan dengan presentasi dari tiap program. Hingga pertengahan kami kedarangan tamu yaiitu anggota -anggota himpunan periode sebelumnya. Mereka berbagi pengalaman dan menceritakan sedikit kisah yang mereka ukir di himpunan. Setelah sesi sharing tersebut, kami dbagi empat kelompok dengan warna masing-masing dan diturunkan di tengah jlalan untuk mencari potongan warna tersebut dan mengkuti petunjuk selanjutnya. Aku berada di kelompok ungu dan tiba kembali di vila paling cepat. Ternyata ada petunjuk-petunjuk kelompok lain yang kurang jelas sehingga ada diantara mereka yang tersasar. Akibatnya, mereka merasa kesal akan hal itu. Kemudian acara hari ini diakhiri dengan makna dari permainan terakhir.

Pagi yang sejuk membuat aku bersemangat. Acara dibuka dengan senam pagi bersama. Kemudian sarapan dan mandi, dilanjutkan presentasi yang kemarin sempat terhenti. Keseluruhan acara diklat ditutup dengan pesan-pesan dan evaluasi dari ketua dan wakil himpunan.

Hanya dalam satu hari satu malam aku merasakan aku banyak memetik pembelajaran.
Aku belajar untuk mendengarkan berbagai tipe orang yang berbicara. Apapun gaya mereka itulah karakter yang bisa kupelajari.
Aku belajar untuk mengamati perilaku masing-masing dari para temanku yang akan bergandengan tangan bersamaku menyongsong masa depan.
Aku belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Aku sadar aku bukan orang yang terlalu mudah untuk beradaptasi tapi setidaknya aku berusaha untuk beradaptasi meski mungkin masih kurang.
Aku belajar untuk membuka diri dan ikut dalam kehebohan-kehebohan yang diciptakan.
Aku belajar untuk mengerti kebiasaan-kebiasaan tiap orang.
Aku belajar untuk mengerti bahwa apapun program yang dipegang seseorang memiliki tingkat kesuilitan yang berbeda sehingga tidak bisa dibandingkan.
Aku belajar untuk mengerti bahwa ke depannya aku akan menghadapi kesulitan-kesulitan dan aku harus mampu mengatasinya.
Yang terpenting aku belajar untuk berbagi dan bekerja sama dengan terman-temanku.

Beberapa motivasi yang dapat aku petik juga.
KIta harus berjalan ke luar dari kotak.
Peraturan itu ibarat pasir. Oleh karena tidak dapat menggenggamnya terlalu keras ataupun tidak menggenggamnya.
Kita harus menjadi seseorang yang proaktif dan memiliki inisiatif sendiri.
Jika kita telah berusaha semaksimal mungkin kegagalan yang didapat takkan menjadi suatu masalah yang besar.
Kegagalan yang sebenarnya adalah di saat kita berhenti untuk berusaha.

Meski belum tentu orang-orang yang turut dalam diklat membaca ini namun aku tetap ingin berterimakasih. Aku menghanturkan sepatah kata terima kasih untuk seluruh temanku yang telah menyusun acara ini sedemikian rupa yang meski hanya singkat waktunya namun jika kita benar-benar menyelaminya banyak yang bisa kita ambil sebagai masukan.

Bukan hanya kenangan yang terukir namun pembelajaran juga ikut tergores.

Tak ada tujuan tertentu untuk menulis ini, tulisan ini hanyalah curahan hatiku yang menyukai dunia menulis.

Bandung, 19 Juli 2009

Aku rindu,,,

Aku berbaring di kasurku menyiapkan diri ini untuk tidur namun entah mengapa malam ini aku ingin sekali menangis. Tak mampu untuk tidur dan aku memutuskan untuk mencurahkan perasaanku kembali di sini. Malam ini air mataku tak berhenti mengalir dan aku sendiri juga tak tahu apa alasannya. Aku sudah kembali ke kehidupan sehari-hari yang telah kupilih dengan rutinitas yang telah terjadwal. Liburanku di kampung halaman telah usai namun aku ingin melanjutkannya. Rasanya ingin membohongi diri sendiri bahwa ada koma di sana bukanlah titik. Ragaku sudah berada di sini tetapi jiwaku masih berada di sana. Apakah rasa ini yang sering diceritakan teman-temanku dan mereka mengatakannya dengan istilah "homesick"? Aku kira aku tak akan merasakannya karena sudah setahun lamanya aku meniti kehidupanku di sini. Malam ini entah mengapa pertahananku roboh juga. Aku merasakannya sama seperti teman-temanku.

Aku rindu rumahku...
Aku rindu keluargaku... papa.. mama.. adikku..
Aku rindu suasana rumahku...
Aku rindu masakan mama...
Aku rindu nasehat papa..
Aku rindu semuanya yang ada di rumahku...

Aku rindu teman-teman baikku...
Aku rindu jalan-jalan bersama mereka...
Aku rindu menghabiskan waktu dengan mereka...
Aku rindu canda tawa mereka...
Aku rindu mereka memanggil namaku...

Aku rindu kota itu meski cuacanya sangat panas...
Aku rindu masakannya yang tak ada tandingannya...
Aku rindi lalu lintas yang tak beraturan...
Aku rindu melihatnya tak banyak berubah...

Oh, tidak.. air mata ini semakin deras.. pandanganku telah kabur... mata ini telah membengkak...

Semuanya itu takkan tergantikan dengan keadaan di sini...
Tapi aku tak ingin menyesal aku berada di sini...
Setahun lamanya aku mampu menjalaninya...
Mengapa perasaan seperti ini tiba-tiba muncul dan mengacaukan perasaan yang telah kutata dengan kokoh...
Selemah inikah aku...
Sebodoh inikah aku...
Setidakberdaya inikah aku...

Aku rindu suara papa yang tegas...
Aku rindu suara mama yang lembut...
Aku rindu suara adik yang berat...
Aku rindu suara teman-teman baikku...
Aku iingin kembali bersama mereka...

Apa dayaku... ini jalan yang telah kupilih...

Sepotong kisah semalam di Simalem

Sebuah perjalanan yang belum pernah dilakukan YADers ini memacu semangat semuanya. Jumat, 3 Juli YADers berangkat ke S3S, rumah yang amat dikagumi. Setibanya di sana, kami disambut hangat oleh Suhu Light, sejie, sesiong dan disajikan makan malam. Kegiatan malam itu dilanjutkan dengan acara foto dimana fotografernya Suhu Light dan para modelnya cewek-cewek YADers. Para cowok sedang asik bermain di kamar mereka. Kemudian tibalah suatu saat yang sangat dihindari oleh YADers yaitu acara minum bandrek alias air jahe. Panasnya membuat tenggorokan menjadi panas. Dengan perjuangan akhirnya semuanya dapat menghabiskan gelas masing-masing. Ada kejadian yang sangat memacu jantung para cewek. Ketukan di pintu kamar yang disambut dengan wajah mengerikan membuat ketakutan para cewek yang pada akhirnya ternyata adalah topeng yang dikenakan salah satu cowok. Hal ini membuat salah satu cewek yang membuka pintu dan terkejut akan topeng itu menangis dan membuat heboh cewek lainnya. Kejadian ini sebagai pemanasan untuk besok yang belum bisa diprediksikan akan bagaimana jadinya. 3 Juli 2009.

Pagi yang cerah mengawali semuanya dengan sangat sempurna. YADers dan Suhu Light sarapan bersama dan bersiap untuk berangkat tentunya dengan wajah yang sumringah. Semangat yang masih segar terdapat pada tiap individu. Perjalanan memakan waktu dua jam lebih dikarenakan terjadi sedikit kemacetan. Setibanya di sana, kami bertemu dengan para pemimpin outbound camping ini. Setelah membuang simpanan di toilet yang berkaca transparan itu kami meneruskan berkeliling di kawasan yang dikenal dengan “Pearl of Lake Toba ini”. Di bawah kawasan ini adalah kawasan tao Silalahi dimana memiliki kedalaman 1000 m. Pertama kami berfoto di sejejeran batu yang bertuliskan nama yang sangat mengagumkan ini kemudian beralih ke Tongging point. Kawasan itu terdapat amphitheater yang belum sempurna dibangun dan direncanakan adalah tempat untuk diadakan pertunjukan atau festival dan sejenisnya kemudian juga ada tempat dijualnya cinderamata (Tongging Mart). Matahari yang bersinar sangat terik membuat kami tidak bisa berlama-lama di sana. Oleh karena itu setelah diambil beberapa foto oleh fotografer Suhu Light, kami melanjutkan ke sebuah vihara yang belum selesai dibangun. Vihara ini katanya menyerupai sebuah vihara kuno di Cina, ornamen-ornamennya juga didatangkan dari Negeri Tirai Bambu itu. Kami memutuskan tidak melihat-lihat ke dalam karena vihara tersebut belum memasuki tahap penyelesaian. Acara berkeliling diakhiri dengan makan siang di Toba café. Makan siang yang enak menambah semangat kami untuk melanjutkan ke acara outbound. Sebelumnya kami mengunjungi Kodon Kodon café yang pemandangannya lebih bagus dari Toba café yang sebelumnya kami kunjungi. Barang-barang kami yang berat dikumpulkan di sana untuk diangkut ke kawasan camping.

Setelah semuanya bersiap maka kami pun berangkat memasuki sebuah hutan yang bernama Sibuaten. Sibuaten ini dalam bahasa Batak artinya saling mengambil karena di hutan ini masih terdapat banyak penghuninya sehingga mereka sering mengambil nyawa orang asing, yang masih belum dikenali. Jika sedang berjalan di tengah hutan kadang orang tersebut bisa menghilang, itu kata Pak Ramona, pemimpin outbound kami. Cuaca yang sangat bagus mendukung perjalanan trekking kami, tanahnya kering sehingga memudahkan kami. Dalam hutan digali banyak pengetahuan mengenai dunia botani. Terdapat berbagai jenis flora yang tumbuh dengan sendirinya di hutan. Rencananya akan diteliti lebih lanjut untuk dinamai masing-masing. Ada anggrek hutan yang jika hendak dirawat amatlah sulit, kaktus hutan yang berwarna merah menyerupai buah strawberry dan menempel di tanah, ada jamur kuping yang melekat pada batang-batang pohon, ada sejenis tumbuhan paku yang menyerupai tumbuhan paku yang biasanya hidup di air, kemudian ada pohon kemenyan, ada pohon beringin yang sangat unik dimana batang luarnya akan memakan habis batang dalamnya dan seterusnya, dan yang paling banyak ditemui dalam hutan ini adalah tumbuhan rotan yang berduri. Sambil melihat keunikan alam tak terasa kami telah tiba di air terjun kembar yang istilah kerennya “Twin Waterfall”. Ada dua buah air terjun yang dibatasi oleh batu-batu yang besar. Tak ketinggalan acara foto-foto dengan mencari spot-spot yang bagus. Ada salah satu cewek yang tak sengaja tercebur ke dalam air sehingga baju, celana beserta jaketnya ikut basah. Sekitar setengah jam kami menghabiskan di air terjun dan kami melanjutkan perjalanan ke kawasan camping. Kami menemukan lubang ular pemakan semut di tengah perjalanan. Kata Pak Ramona hutan ini juga terdapat banyak siamang yang kadang-kadang menampakkan dirinya. Sesampainya di kawasan camping, kami sibuk melihat kemah yang akan kami tempati selama semalam, kamar mandi yang akan kami gunakan selama semalam, dan daerah sekitar sana yang akan menemani kami selama semalam. Ternyata di depan kemah kami terdapat aliran sungai yang cukup jernih. Kami diijinkan mandi di sana tetapi dengan tidak menggunakan sabun. Kamar mandinya cukup bersih dan kemahnya cukup nyaman untuk ditempati. Kami menghabiskan sore dengan bermain permainan. Keceriaan menghiasi permainan kami. Canda dan tawa tak luput dari pembicaraan kami yang diselingi cemilan-cemilan. Saat yang kami nantikan yaitu makan malam karena cacing di perut telah melakukan demonstrasi. Sajiannya tidak begitu lezat, sebelumnya kami juga makan jagung rebus yang tak begitu nikmat. Sangat berterimakasih kepada sejie yang telah menyediakan sebutir telur bagi tiap orang sehingga setidaknya masih ada lauk yang dapat kami makan. Acara dilanjutkan dengan nyanyi-nyanyi. Berbagai jenis lagu kami nyanyikan dari lagu kebangsaan negara tercinta, lagu pop Indonesia, lagu Mandarin dan Barat hingga lagu daerah dan yang tak ketinggalan bernostalgia dengan lagu-lagu masa lalu yang bahkan kami belum lahir. Ternyata ada seorang cowok YADers yang lumayan tahu tentang lagu-lagu zaman orangtua kami dan ada dua orang cewek yang bahkan mahir menyanyikan lagu daerah Batak. Sungguh sebuah kenangan yang amat manis. Di sela itu ada sebuah permainan menyanyikan lagu “Di sini senang, di sana senang” dengan mengubah huruf vokal menjadi a, e,I, o, u. Dua belas YADers dibagi menjadi lima kelompok yang dimenangkan oleh kelompoh berhuruf vokal i. Saat bermain suasana sangat heboh dan terjadi teriakan-teriakan sebagai wujud luapan emosi bahagia kami. Malam yang kian larut ditutup dengan sebuah tidur istimewa di tempat yang luar biasa. 4 Juli 2009.

Pagi hari yang indah dan adem menyambut hari kami. Matahari pun tersenyum ceria mengucapkan selamat pagi. Saat membuka mata, mungkin ada diantara kami yang tersentak kaget tak mengenali keadaan sekeliling. Hal ini wajar karena bermalam di sebuah tempat asing yang sangat sederhana dimana sangat berbeda dengan keadaan rumah kami. Suasana pagi yang sangat bersahabat memberi angin kesegaran baru bagi kami. Santapan sarapan pagi yang dihidangkan tepat mengisi perut kami yang mulai bernyanyi. Kami membawa sarapan dan duduk di pinggir sungai. Mungkin ini pertama kalinya bagi kami menyantap sarapan sambil menikmati keindahan alam pada pagi hari. Selesai berbenah, kami menyeberangi sungai. Butuh konsentrasi untuk menyeberanginya karena batu-batu sangat licin. Kemudian kembali memasuki hutan yang lebih menantang dari hari sebelumnya. Sekitar setengah jam kemudian kami tiba di jalanan dan melanjutkan dengan jalan panjang yang semakin menanjak hingga akhirnya kembali ke Kodon Kodon café tempat kami memulai outbound kemarin. Ini ibarat sebuah perlombaan yang dimulai dan diakhiri di tempat yang sama. Perjalanan pulang ke S3S kami bercerita banyak dan bernyanyi-nyanyi. Tak sedikitpun tercermin kelelahan di wajah kami. Kami menyantap makan siang di Tebu Manis dan kembali ke S3S. Sore harinya, kami melanjutkan perjalanan pulang ke Medan. Sekitar empat jam kami habiskan karena kemacetan yang luar biasa. Namun, kami mengisi perjalanan dengan bernyanyi sepuasnya seakan di lain waktu kami tak bisa bernyanyi bersama lagi. Mungkin saja, karena segala hal di dunia ini tidak pasti. Oleh karena itu, semasih bisa kami berkumpul bersama maka kami akan menikmati saat-saat itu dan menjadikannya potongan-potongan kenangan yang akan mendiami hati masing-masing. 5 Juli 2009.

“Back To Nature” sebuah istilah yang bisa menggambarkan keseluruhan aktivitas YADers kali ini. Dari kegiatan ini, kami masing-masing mendapat banyak pelajaran. Satu hal yang pasti, kami akan lebih bersyukur dan lebih menghargai serta menikmati hidup ini.

Di kala memasuki hutan yang penuh dengan rintangan, akan terpikir betapa mudahnya kita pergi ke mana saja dengan mobil ber-AC yang membuat kita terlindung dari segala debu dan kotoran.

Di saat makan lauk yang seadanya serta rasa masakan yang aneh, akan terpikir betapa mudahnya selama ini kita mendapatkan makanan enak yang bahkan kadang kita menyia-nyiakannya.

Di kala tidur di sebuah kemah dengan banyak orang di dalamnya, akan teringat betapa nyaman dan empuknya tempat tidur kita beristirahat selama ini.

Di saat tersedia kamar mandi yang seadanya dan air yang diragukan kebersihannya, akan teringat betapa kita tak menikmati setiap aktivitas di kamar mandi yang selama ini dilakukan.

Di kala kita harus hidup dengan berbagi dan berdampingan dengan orang lain, akan teringat betapa egoisnya diri kita selama ini dan kadang tak menghargai sebuah jodoh.

Di saat keberadaan kita begitu dekat dengan alam, akan teringat betapa selama ini kita secara tak langsung ikut merusaknya dengan segala aktivitas dan kebutuhan kita.

Di kala dan di saat kita menyadari keindahan alam dan menikmatinya, kita akan menyadari juga bahwa kehidupan yang nyaman dan berkecukupan takkan mampu kita lepaskan. Keindahan alam takkan mampu melampauinya. Kisah ini hanya akan menjadi sebuah pembelajaran tentang penghargaan akan perjuangan hidup.

Pada akhirnya setelah pulang kita merasa terusik dengan kekotoran tubuh kita, harus kita sadari itulah diri kita yang tak luput dari kekotoran batin sehingga saat kita ingin segera membersihkan tubuh kita, maka harus kita sadari kita juga harus berusaha menjaga kebersihan batin kita.

Mungkin kita menganggap ini semua hanyalah sebuah aktivitas mengisi waktu liburan namun kehidupan seperti ini masih dijalani oleh saudara-saudara kita di daerah lain maupun belahan dunia yang lain. Mereka mampu menghadapi semua rintangan dan cobaan serta berjuang untuk hidup hari demi hari. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bersyukur akan apa yang telah mudah kita peroleh selama ini yang telah jauh dari sebuah kata “sederhana” dan mengerti akan sulitnya berjuang untuk hidup. Dengan demikian, kita tidak akan menyia-nyiakan hidup ini dan mewarnainya dengan berbagai kegiatan yang berguna bukan hanya untuk diri sendiri melainkan orang banyak. “Hidup adalah perjuangan” sebuah kalimat sederhana yang saya rasa layak menutup kisah ini.