Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Saturday, October 17, 2009

cafe itu mempertemukan aku dan dia

Sudah berhari-hari aku menjadi pelanggan tetap café ini. Alasan sebenarnya aku di sini bukan untuk makan dan minum karena itu bisa aku dapatkan di tempat lain. Aku menghabiskan waktuku di sini untuk sesuatu yang tak jelas. Hanya duduk termenung ditemani segelas cappuncino kadang sebuah buku. Namun entah mengapa aku sangat betah berada di sini. Di sini aku bisa menemukan ketenangan dari hiruk pikuk kehidupanku, tak ada yang menggangguku, tak ada yang menghiraukanku, hanya kusendiri di sini.

Tak terhitung berapa hari lamanya, mungkin sekitar seminggu aku sering berkunjung ke café ini. Sebenarnya café ini hampir sama konsepnya dengan café pada umumnya. Tempat orang makan dan minum atau nongkrong dan gosip, tapi sayangnya bukan itu yang kucari di sini. Di sini aku mendapat sebuah tempat untuk kuberdiam dan hanyut dalam kegiatanku sendiri. Menulis, itulah pelampiasanku yang terutama. Aku sangat senang melakukannya karena terus terang aku bukan orang yang mudah mempercayai orang lain jadi tulisanlah tempat kumencurahkan isi hatiku. Aku selalu membawa laptop kesayanganku dan duduk manis di sini ditemani segelas cade latte.

Selama dua tiga hari ini aku selalu melihat gadis itu di sini. Dia selalu datang dengan laptopnya dan duduk di pojok café. Mungkin dia butuh konsentrasi untuk memindahkan apa yang ada dalam pikirannya. Aku duduk di pojok yang satunya lagi dapat melihat dengan jelas gadis iu. Wajahnya cukup manis, putih dan lembut. Rambutnya sebahu dan tubuhnya dapat dikategorikan proporsional. Secara keseluruhan dia termasuk kategori cewek yang diidamkan para cowok. Dia selalu datang dan pergi sendirian. Gayanya sangat santai tapi aku merasakan bahwa dia amat rapuh.

Entah ingatan aku yang sedang buruk atau aku yang terlalu peka, mengapa aku merasa melihat pria yang sama di pojokan sebelah sana akhir-akhir ini. Terus terang dia salah satu dari sekian orang yang menarik perhatianku. Dia selalu ada sebelum aku datang dan hingga aku beranjak dia tetap duduk di sana dalam keheningan. Dia cowok yang lumayan menjadi idaman para cewek dengan tinggi tubuhnya yang menjulang dan proporsional, garis wajahnya tegas, hidung mancung, alis matanya yang tebal, dan lesung pipi menghiasi wajahnya dengan cukup sempurna. Dia seperti larut dalam dunianya sendiri dan aku merasa bahwa dia sedang merasa bimbang, tak tahu arah dan merasakan kekosongan dalam hatinya.

Hari ini aku memutuskan untuk mengikuti gadis itu. Seperti biasanya aku memesan segelas cappucino dan kebetulan aku membawa sebuah buku untuk menemaniku hari ini. Sekitar setengah jam kemudian gadis itu terlihat di pintu masuk menyapa ramah pelayan dengan senyum manisnya dan berjalan ke pojokan seakan itu memang khusus disediakan untuknya. Dia memesan segelas café latte dan memulai kegiatannya mengetik dengan wajah yang membuat hatiku hanyut. Tak berapa lama aku mengamatinya, setetes, dua tetes, dan tetes-tetes air mata berikutnya membasahi pipinya. Ingin sekali aku menghampirinya dan merangkulnya serta menghapus air matanya.

Saat kumemasuki café aku kembali melihat pria itu duduk di pojokan yang biasa dengan segelas cappucino tetapi hari ini dia tidak duduk termenung tetapi sedang membaca sebuah buku yang aku tak bisa menangkap dengan jelas tentang apa. Aku pun memulai kegiatan menulisku dan semakin menyatu di dalamnya hingga tak terasa air mata ini ikut keluar dari persembunyiaannya. Aku melirik pria itu, dia sedang tenggelam dalam bacaannya dengan wajah serius dan tetap aku merasakan dalam dirinya itu ada kekosongan. Hari sudah mulai gelap dan aku memutuskan untuk pulang.

Aku tak berhasil mengikutinya karena begitu dia meninggalkan café, dia menaiki angkutan umum dan aku tak mungkin menaiki angkutan umum yang sama. Aku tak ingin dia mencurigai aku mengikutinya. Aku hanya diam terpaku melihat angkutan umum itu membawanya semakin jauh.

Sudah dua minggu aku melihat pria yang sama di pojokan itu sepertinya dia juga penggemar café ini sama seperti aku. Saat kulangkahkan kakiku memasuki café aku tertegun sejenak, dia tidak ada di sana. Biasanya dia selalu duduk diam di sana. Sebersik rasa rindu akan kehadirannya tiba-tiba muncul. Aku segera mengenyahkan perasaan itum aku bahkan belum mengenal dirinya sama sekali.

Akhir-akhir ini aku datang agak sore ke café karena ada kuliah tambahan. Seharusnya gadis itu masih ada di café namun sudah beberapa hari ini dia tidak berada di sana, muncul semacam rasa kehilangan akan dirinya. Aku merasa diriku sangat aneh, aku bahkan belum mengenalnya.

Seminggu berlalu tanpa kehadirannya, hari ini aku agak terlambat ke café dari seharusnya karena aku harus mengerjakan beberapa tugas kelompok di kos temanku. Untunglah café ini letaknya lumayan dekat kampus dan tempat favoritku di pojokan seakan terisolasi dari sisi lain café itu sehingga aku tidak merasa terganggu. Aku agak lelah hari ini. Aku tidak memulai kegiatan menulis hanya duduk tenang dengan segelas café latte.

Saat kumemasuki café aku melihat pesanan gadis itu , café latte, karena biasanya dia memesan itu, baru diantarkan pelayan. Itu berarti dia baru saja tiba di café, tak seperti biasanya dia datang agak sore seperti ini. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Tak tahu muncul keberanian dari mana. Aku ingin sekali berbicara dengannya dan mengenalnya lebih dalam.

“Hai, boleh aku duduk di meja ini?”

Aku tertegun sejenak. Pria itu menghampiriku dan ingin duduk semeja denganku. Aku melirik pojokan tempat biasa dia duduk. Meja itu masih kosong.

“Sepertinya mejamu masih kosong.”

Jawabannya membuatku terkejut. Dia tahu selama ini aku duduk di pojokan itu. Dia memperhatikanku.

“Oh… bukankah kalau ada teman bicara itu akan lebih baik,” kataku melemparkan senyuman tulus.

“Maaf. Tapi aku sedang ingin sendiri,” ucapan itu keluar dari mulutku tanpa kubisa mengontrolnya.

“Baiklah kalau begitu.”

Beberapa hari selanjutnya suasana aku dan gadis itu diselimuti awan dingin. Setiap kali aku menatapnya, dia memalingkan wajahnya dan kembali mengetik. Dia menghindari kontak mata denganku. Dia seakan menutup dirinya untukku. Aku dapat merasakan di balik kekerasan itu terdapat kerapuhan. Aku ingin sekali menghampirinya dan merengkuhnya, membenamkan wajahnya di dadaku dan mengatakan padanya bahwa aku selalu berada di sini bersamanya. Aku ingin sekali mengusap rambutnya, membelai lembut pipinya dan mengatakan padanya bahwa jangan menodai pipi mulus itu dengan air mata karena aku akan memberikannya kebahagiaan.

Aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Sejak kalimat penolakan kulontarkan, kami seakan terpisah jarak meski tak saling mengenal. Aku selalu mengalihkan pandanganku jika tak sengaja bertatapan dengannya. Di sisi terdalam hatiku, aku ingin sekali dia datang menghampiriku dan duduk bersamaku. Aku ingin sekali mengisi kekosongan yang meliputi hatinya. Aku ingin memeluknya dan memberi sinar keceriaan kepadanya. Aku ingin berlindung di dalamnya.

Akhirnya aku tak kuasa menahan gejolak dalam diriku. Aku memutuskan untuk mencobanya lagi karena aku merasakan dia sebenarnya merasakan hal yang sama denganku.

“Sore Mas, Mbak nya sudah ada di dalam,” sapa pelayan café itu dengan senyuman seakan dia mampu menebak pikiranku.

“Bolehkah aku duduk di sini?” tanyaku ramah kepada gadis itu.

Sore ini dia tampak manis sekali. Dia berhenti mengetik dan memandangiku.

Suaranya menghentikan kegiatan menulisku. Aku terpaku memandanginya. Dia sangat tampan sekali. Aku merindukannya, aku mengakuinya. Aku merindukan sosok sepertinya untuk menemani aku. Meski aku tak mengenal dia namun hati ini merasa nyaman bisa melihatnya tersenyum seperti itu.

“Maaf, bolehkah?” kubertanya sekali lagi karena tak ada jawaban dari mulut gadis itu.

“Sss… Silakan.”

“Terima kasih. Kenalkan nama saya Lexiano. Biasanya dipanggil Leno.”

Akhirnya setelah sekian lama menunggu, aku berhasil berkenalan dengannya. Namanya Sangueennia. Teman-temannya memanggilnya Nia. Aku lebih suka memanggilnya San-San. Kami bercerita banyak mengenai dunia kampus hingga dunia pertemanannya dia. Ternyata San-San tidak sependiam itu dan benar dia serapuh itu. Keras di luar, rapuh di dalam. Aku akan menguatkannya jika dia mengijinkanku suatu hari nanti.

Namanya Lexiano biasanya dipanggil Leno, aku lebih suka memanggilnya Lexi. Ternyata aku cepat sekali akrab dengan dia. Kami bercerita banyak tentang perkuliahan hingga pertemanan. Tebakanku benar bahwa dia merasa kosong dan kesepian dan aku akan mengisinya jika dia mengijinkannya suatu hari nanti.

Aku kembali ke café ini dengan kegiatan menulisku. Ada seseorang menarik kursi di hadapanku dan duduk. Itu Lexi. Sejak perkenalan itu kami duduk bersama jika kebetulan berada di café dan tentunya kembali ke kegiatan masing-masing. Dia dengan segelas cappucino dan duduk manis memandangiku bukan lagi tatapan kosong.

Kulihat dia sedang mengetik seperti biasanya, aku segera menghampirinya dan duduk di depannya. Tak ada yang berubah. Dia tetap dengan laptop dan segelas café latte hanya kerapuhan dalam dirinya aku merasa berkurang sedikit entah itu karena aku ataukah sesuatu hal lain.

“Lho, ga duduk pisah lagi ya Mas ma Mbak. Begini lebih bagus jadi ga sendiri-sendiri. Ada teman kan lebih asik,” kata pelayan itu sambil meletakkan café latte dan cappucino di meja kami.

Bandung, 31 July 2009

No comments:

Post a Comment