Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Tuesday, May 28, 2013

Asam Manis Merayakan Waisak di Borobudur


Merayakan Waisak di Borobudur pertama kalinya bagiku ibarat diberikan segenggam permen, dan secara acak aku mengambilnya untuk dimakan, rasanya ada yang manis, juga ada yang asam.

Akhirnya, sobat, aku berhasil mewujudkan salah satu impianku sejak dahulu, merayakan hari raya Trisuci Waisak di Borobudur, tempat yang paling menakjubkan bagiku yang menjadi kebanggaan Indonesia. Aku sangat bersemangat menanti bulan demi bulan, hingga hari demi hari. Seperti biasa menjelang Waisak aku mengambil athasila, latihan delapan sila, yang bisa dikatakan semacam pantangan yang diambil oleh umat Katolik menjelang Paskah. Bedanya, athasila ini standar untuk semua orang. Selama sebelas hari aku mengambil athasila dan melepasnya pada hari dimana aku berangkat ke Jogja. Untuk kisah petualang di Jogja, akan kubahas pada artikel terpisah.

Rajasa Hotel
Pada tanggal 24 Mei, selesai mengitari Jogja, pukul 00.30 malam, atau bisa dikatakan pagi, saya dan teman perjalanan saya, Nely, diantar oleh teman-teman kami yang berasala dari Jogja ke penginapan yang sudah kami booking sejak Januari, fyi, saat booking hotel di sekitar Borobudur akhir Januari lalu, saya sempat shocked, karena hampir seluruh penginapan full untuk hari-hari menjelang Waisak. Untuk tanggal 24 Mei, kami menginap di Rajasa Hotel, sebuah penginapan yang cukup sederhana dengan harga kamar Rp 350.000 terdiri dari fasilitas AC, kamar mandi di dalam kamar, handuk, sabun, dan sarapan pagi. Selesai mandi, saya dan Nely segera mengistirahatkan tubuh kami untuk esok hari yang kami tunggu sejak lama.

View dari Rajasa Hotel
Selamat pagi dari Borobudur disambut oleh hamparan pemandangan sawah yang hijau dengan latar belakang gunung. Pemandangan itu dapat dilihat setelah saya keluar dari kamar hotel. Kami disuguhi sarapan nasi goreng sayur dan secangkir kopi/teh. Rasanya cukup lumayan dan membuat hari Waisak makin sempurna karena tidak memakan daging pagi ini. Selesai sarapan, kami bersiap check out menuju hotel yang akan kami nginap hari ini. Kami terpaksa berpindah penginapan karena penginapan untuk hari ini di Rajasa sudah full booked. Kami menggunakan jasa ojek dari Rajasa Hotel ke Saraswati Boutique Hotel kemudian lanjut ke Candi Mendut dengan tarif Rp 15.000 (seharusnya tarifnya cukup Rp 10.000, lupa menawar hehe...). Kami sempat terkagum melihat interior hotel yang sangat homy. Lobby nya terdiri dari beberapa meja yang dikelilingi kursi dengan desain tradisional. Tidak ditemukan resepsionis dengan meja tinggi, tetapi hanya seperti meja tulis. Interior yang sungguh unik dan membuat nyaman. Kami menitipkan barang bawaan kami yang hanya terdiri dari ransel di resepsionis.

Candi Mendut
Tiba di Candi Mendut sekitar pukul 7.30 pagi, sementara acara Waisak dimulai pukul 09.00, namun area candi sudah dipernuhi dengan rombongan-rombongan umat vihara dan sebagainya. Kami sempat singgah sebentar ke vihara di sebelah Candi Mendut untuk melihat-lihat kemudian masuk ke kompleks Candi Mendut. Dikarenakan sekretariat Walubi, organisasi yang mengadakan acara Waisak tahun ini, belum buka maka kami pun belum dapat meminta ID card access yang akan digunakan untuk prosesi di Borobudur. Di depan Candi Mendut telah tersusun altar dengan patung Buddha dan rangkaian bunga yang menghiasi. Di depan altar telah digelar karpet yang cukup luas sebagai tempat duduk umat Buddhis. Kami pun mengambil tempat di sebelah kanan altar. 

Altar di Candi Mendut
Ritual perayaan Waisak berjalan dengan lancar meski cuaca saat itu sungguh panas sehingga seakan berada di ruangan sauna. Menjelang detik Waisak yang jatuh pada pukul 11.24.39 saat itu, orang-orang yang datang semakin banyak begitu juga dengan para fotografer yang mengambil spot untuk mendapatkan foto terbaik. Saat prosesi menjelang detik Waisak, para fotografer berdiri di lintasan jalan menuju tempat duduk sehingga saya sebagai umat yang duduk tidak dapat melihat prosesi di altar karena terhalang oleh para fotografer yang berdiri di tengah-tengah lintasan jalan untuk mengambil foto. Terlebih lagi saat meditasi menyambut detik Waisak, terdengar jepretan tak henti dan blitz yang diarahkan ke saya sehingga meski dengan mata terpejam saya tetap dapat merasakan kilatan cahaya, saat membuka mata, ternyata benar para fotografer mengarahkan camera untuk memotret umat yang sedang bermeditasi. Rasanya seperti model saja kalau dipikir-pikir. Kemudian, mulai kejadian tidak diharapkan, remaja di belakang saya terisak-isak karena blackberry nya hilang, katanya kemungkinan diambil oleh penjual makanan yang sedang mengitari tempat duduk umat. Haruskah saat meditasi, kami harus memeluk tas erat-erat agar barang tidak hilang? Saat acara bubar, antrian untuk mengambil air berkah padat luar biasa, sehingga tak terhindar aksi dorong mendorong, saya mengeluarkan dompet untuk memberikan dana, kemudian memasukkan dompet saya kembali ke tas, namun tanpa sadar, dompet saya ternyata sudah jatuh di tas milik seorang wanita di dekat saya. Dia menanyakan dompet milik siapa dan saya sadar itu ternyata dompet saya yang nyaris dicopet, mungkin karena desak-desakan sehingga tidak berhasil diambil oleh sang pencopet. Wanita itu kebetulan saya sering melihat wajahnya di vihara yang biasa saya kunjungi di Jakarta. Dunia sungguh sempit bukan? Saat prosesi di Mendut, kami berkenalan dengan seorang pria yang datang sendiri ke Jogja untuk mengikuti Waisak di Borobur, niat yang sungguh luar biasa, maka kami bergabung bersama untuk melanjutkan prosesi di Borobudur. Setelah berhasil keluar dari kompleks Candi Mendut, tentunya setelah berhasil melewati aksi dorong mendorong, seluruh tempat makan dekat candi padat oleh orang-orang. Pilihan kami jatuh pada tempat makan di pinggir jalan dengan lauk sederhana. Kami memutuskan melanjutkan berjalan ke Candi Borobudur terlebih dahulu dari rombongan agar tidak terlalu padat. Di tengah jalan,  hujan mulai turun, sehingga kami memutuskan untuk naik ojek, tarifnya Rp 10.000 hingga ke pintu masuk Candi Borobudur.

Suasana Prosesi Waisak di tenda Theravada
Karena kami memiliki ID card peserta, maka kami masuk melalui pintu 7 yang juga pintu masuk Manohara Resort dengan free. Kami naik ke atas candi untuk foto-foto dan istirahat. Pada saat itu masih pukul 14.00 lebih namun kawasan candi sudah dipenuhi lautan manusia. Sejam kemudian, rombongan para bhikku tiba di Borobudur, diadakan ritual penyambutan di altar Buddha yang terletak di bawah candi dengan megah. Setelah penyambutan, acara selanjutkan merupakan prosesi Waisak masing-masing aliran di tenda-tenda yang sudah didirikan di kompleks taman candi. Kami mengikuti prosesi Waisak di tenda Theravada. Karena kondisi jalan yang macet, maka makan malam yang disediakan oleh panitia juga terlambat datang. Kami memutuskan tidak menunggu makanan datang dan mengikuti rombongan bhante untuk naik kembali ke candi. Saat itu langit sudah gelap, sehingga kami hanya mengandalkan penerangan di sepanjang lintasan rombongan di jalan menuju candi tentunya setelah melewati aksi dorong mendorong dengan wisatawan,  pengunjung, fotografer, dan lain sebagainya. 

Tiba di Candi Borobudur sore harinya penuh dengan lautan manusia
Sesampainya di candi, karpet yang digelar di depan altar telah penuh diisi oleh pengunjung, wisatawan, maupun para fotografer, sehingga kami tidak dapat masuk lagi karena sudah sangat padat. Terlebih lagi ada satu jalur masuk yang dikosongkan untuk menyambut Menteri Agama yang seharusnya datang sejam yang lalu. Saat itu sudah pukul 19.30, kami bertiga sempat ribut dengan panitia saat ditanya berasal dari rombongan mana. Saya membalas pertanyaan panitia dengan lantang, “Memangnya harus ada rombongan baru dibolehkan merayakan Waisak di Borobudur, perlu ditunjukkan KTP bahwa saya Buddhis, saya jauh-jauh dari datang Jakarta untuk Waisak di sini, tapi tidak dapat akses masuk untuk duduk, bagaimana dengan pengunjung lain?” Teman saya menambahkan, “Apakah orang-orang ini bisa membaca paritta sehingga mereka harus duduk untuk menuh”in karpet depan altar ini?” Panitia menjelaskan bahwa alasan tidak boleh masuk melalui jalur itu karena jalur itu dikhususkan untuk penyambutan Menteri Agama sehingga kami diminta untuk lewat jalur lain yang dimana sudah sangat padat dan jika berhasil lewat melalui sana, juga tidak akan mendapatkan tempat duduk menghadap altar. Saya tidak mengerti untuk apa ID card peserta dibagikan jika kami diperlakukan sama dengan pengunjung, lebih baik tidak usah dibagikan. Untuk mendapatkan ID card itu saja, kami harus antri panjang di candi Mendut. Sementara di sini, jalur masuk ke tempat prosesi tidak dibedakan antara pengunjung, peserta, dengan pers. Jika tidak ada fungsi ID card, untuk apa dibagikan? Teman saya yang sudah marah merobek ID card peserta tersebut di depan panitia, toh tidak ada gunanya ID card itu. Saya bisa memastikan orang-orang yang duduk memenuhi karpet bukan umat Buddhis, ada satu identitas yang menunjukkan mereka umat beragama lain. Kami juga merasa sedikit tidak enak marah-marah dengan panitia, tetapi kami sungguh kesal luar biasa, jauh-jauh dari Jakarta, mengikuti prosesi dari pada di Mendut, mendapat ID card peserta, namun untuk closing ceremony bahkan tempat duduk pun tidak dapat. Jalur masuk tersebut sempat dibuka untuk rombongan vihara sehingga kami merasa terdiskriminasi, apakah harus rombongan baru diijinkan masuk? Panitia beralasan bahwa sebagian rombongan sudah menunggu di dalam sehingga mereka diijinkan masuk. Baiklah kami bisa menerima jika itu benar-benar rombongan vihara yang diawali dari Bhikku kemudian diikuti umatnya dengan seragam sama, namun sisanya yang mengikuti masuk bajunya berbeda-beda, juga diijinkan masuk. Mungkin kami terlalu jujur mengaku tidak ada rombongan, jika berbohong sedikit mengatakan sudah ada rombongan yang sudah duduk, mungkin diijinkan masuk. Who knows? Whatever it is, marah-marah di Waisak bukan keinginan dari kami, namun emosi tidak dapat dibendung. Tak lama setelah itu, hujan turun cukup deras, pengunjung itu langsung cabut dari karpet dan keluar dari tempat prosesi. Sungguh mengesalkan, jika mereka memang menantikan festival lampion, bisakah mengambil tempat di luar tempat prosesi yang seharusnya menurut saya diperuntukkan untuk umat Buddhis. Karena sudah tidak memungkinkan untuk masuk dan hujan cukup deras, maka kami memutuskan untuk pulang. 

Altar di Candi Borobudur
Saya membaca berita bahwa ada kaki bhikku yang diinjak saat pradaksina, bahkan teman saya yang lain yang juga mengikuti pradaksina harus melakukan aksi dorong mendorong dengan para fotografer karena menghalangi jalan pradaksina, sungguh membuat kesal. Ditambah lagi kabar bahwa para pengunjung berteriak karena kecewa luar biasa festival lampion tersebut batal. Buat saya, itu sebenarnya prosesi Waisak atau festival lampion?

Jujur, saya bangga menjadi bagian dari agama yang universal, yang terbuka, namun saking terbukanya dan jika tidak ada toleransi dan saling menghormati oleh umat lainnya, yah begini jadinya. Sebagai umat minoritas di negara ini, kami hanya diberikan satu hari dari 365 hari untuk merayakan hari besar Buddhis. Even, satu hari yang diakui itu, kami tidak dapat melaksanakannya dengan tenang dan khidmat, malah suasana kacau balau. Menurut saya, ada baiknya, lebih egois, membatasi acara Waisak diikuti oleh umat Buddhis. Dengan dibuka untuk umum seperti ini dan tanpa ada peraturan jelas yang membatasi, saya sebagai umat Buddhis yang merasa terintimidasi, satu hari yang saya nantikan menjadi kesan yang mengesalkan. Jujur, saya tidak akan berkunjung kembali ke Borobudur untuk merayakan Waisak, dan saya juga tidak akan menganjurkan kepada teman-teman lain selama belum ada peraturan jelas acara tersebut akan berlangsung seperti apa. Saya tidak bisa membayangkan jika saya mengajak kedua orangtua saya dan harus melewati aksi dorong-dorongan. Bukankah ini negara yang multi budaya dan multi agama, ke mana saling menghormati itu perginya? Atau hanya karena kami kaum minoritas, sehingga acara ini disepelekan dan dinikmati sebagai wisata atau sebagai ajang untuk meraup keuntungan semaksimal mungkin? Saya teringat ajaran Buddha, “Berharap maka akan kecewa”. Hal ini benar adanya, saya berharap besar untuk seremoni yang damai dan suci di Candi Borobudur, dan kenyataan jauh berbeda dari harapan saya, yang membuat kekecewaan mendalam. Ini bukan karena pembatalan festival lampion, inti dari perayaan Waisak lebih dari lampion itu. Ini permasalahan saling menghormati dan menghargai. Tidak adil menyalahkan pihak tertentu. Tidak ada yang perlu disalahkan karena ini semua telah terjadi. Panitia yang tidak memberikan peraturan jelas mungkin ada alasan tersendiri. Begitu juga dengan pengunjung dan fotografer yang memadati dan mengambil kesempatan kami untuk beribadah dengan tenang pun mungkin ada alasan tersendiri. Sesungguhnya saya orang yang suka fotografi, namun di saat saya mengikuti prosesi, keinginan saya untuk mengabadikan momen luap semuanya. Saya hanya ingin bisa merasakan prosesi Waisak yang khidmat, mengikuti ritual demi ritual bersama dengan saudara saya yang berasal dari seluruh Indonesia bahkan dunia. Merekam momen tersebut dalam ingatan, saya yakin jauh lebih sempurna daripada melalui kamera saya. Mengapa para fotografer itu tidak bisa menghargai umat yang sedang beribadah dengan mengambil foto tanpa membuat kami merasa terganggu? Apakah prosesi kami merupakan hal yang unik? Menurut saya, prosesi tersebut hanya biasa terjadi pada kebaktian biasa, mungkin karena ini dilakukan di hari besar Waisak dan bertempat di Borobudur sehingga membuatnya lebih istimewa untuk diabadikan. Di mana penghargaan terhadap umat yang sedang beribadah?  Fyi, pelempasan lampion sebagai penutup Waisak diterbangkan pada Minggu malam.

Terlepas dari semua asam manis perayaan Waisak, saya bersyukur untuk merasakan hal baik dan kecewa dari keseluruhan prosesi itu. Setidaknya, saya menjadi tahu bagaimana suasana merayakan Waisak di Borobudur yang sejak dulu saya idamkan. Bagaimana suasana membaca parita bersama dengan umat dari berbagai latar belakang, budaya, dan suku. Bagaimana suasana keseluruhan aliran itu bersatu di depan satu altar saat prosesi berlangsung. Bagaimana luar biasa para tokoh agama bersabar menghadapi jepretan kamera dan dorong-dorongan. Bagaimana luar biasa saya berlatih kesabaran melewati lautan manusia, suara tertawa yang menganggap prosesi kami lucu, dan tidak menghargai ritual kami. Bagaimana akhirnya saya meluapkan emosi karena tidak dapat mengikuti penutupan prosesi di Candi Borobudur. Bagaimana saya menerima kekecewaan tidak dapat menulis harapan saya pada lampion dan menerbangkannya, bahkan mendengar sorakan kekecewaan dari pengunjung. Bagaimana ajaran Buddha, “berharap, maka akan kecewa” dan “ehipassiko, datang dan buktikan sendiri” benar-benar saya dapatkan di sini.
Suasana malam prosesi Waisak di Borobudur yang berhasil diambil dari jauh

Good or bad condition, happy or disappointed feeling, enjoyable or annoying moments, holy or chaos session, we've done them all. Still grateful for the great, impressed, and unforgettable moments happened. This is going to be special stories to be share with others.


5 comments:

  1. Nammo Buddhaya,

    boleh tny? untuk mendapatkan ID Cardnya bagaimana caranya ya?
    Trims..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nammo buddhaya..
      Id card nya bisa didapat di panitia pas prosesi pagi di candi mendut. Sama"

      Delete
  2. daftar dulu atau gimana ya
    trims

    ReplyDelete
    Replies
    1. Idcard peserta bisa diperoleh saat prosesi di Mendut, ada stand panitia waisak di sana.

      Delete
    2. Ga perlu daftar. Bisa langsung diambil

      Delete