Always be grateful

Always be grateful
Just enjoy the path...

Dear YOU

Hello pals!

You come from everywhere...
Here are some stories of mine...
Puzzles that i keep searching through my life

Hope my writing will inspire you...
Make you figure out, when you're sad, there's someone worse than yours.
Make you realize that happiness is something you should share to others.

So, enjoy the pieces of mine ^^

Friday, November 5, 2010

Idealism vs Reality

Halo Sobat, diriku menyapamu kembali. Telah lama tak bersua.
Akhir-akhir ini aku lumayan sibuk dengan segala tugas dan ujian tengah semester. Hasilnya? Jangan tanya. Biarlah apa adanya. Sudah tidak peduli lagi bagaimana hasilnya. Yang penting sudah lewat, biarlah berlalu.

Kali ini aku akan mambahas mengenai topic idealism dengan kenyataan. Perbandingan pertama aku mengambil dari kisah nyataku sendiri. Delapan tahun yang lalu aku pernah mengami putusnya persahabatan dengan seorang cowok. Saat itu, idealisku goyah. Memang benar kata orang tak mungkin adanya persahabatan murni antara lawan jenis. Yah, putusnya persahabatan bisa dibilang karena masalah yang tak jelas dan dasarnya adalah rasa di luar persahabatan itu sendiri. Saat itu aku cukup terguncang, karena dia salah satu orang terpenting dalam hidupku, dia mengenal semua tentang diriku, dan kehilangan dia dalam keseharianku bukanlah sesuatu yang mudah. Setelah tiga tahun berlalu akhirnya luka itu telah tertutup. Datang lagi seorang yang ingin bersahabat. Awalnya aku sudah ingin menolaknya. Berdasarkan pengalaman silam yang amat menyakitkan rasanya memang terlalu idealis membangun persahabatan murni namun dia berhasil meyakinkanku hingga aku juga menerima kembali persahabatan itu dengan idealisku. Setelah berjalan hampir enam tahun, kini retak. Bukan alasan yang persis sama, dia tertarik dengan orang lain, dan seluruh perhatiannya “mungkin” tertuju pada orang itu, bahkan dia sangat tertutup soal cewek itu hingga aku tak mengetahuinya. Aku bahkan tak pernah melarangnya untuk menjalin hubungan dengan siapapun tapi sebagai sahabat bukankah wajar bercerita. Aku kadang juga sering bercerita mengenai cowok-cowok yang sedang mendekatiku. Sungguh, aku tak habis pikir. Kini dia meminta maaf dan menanyakan kesalahan dia apa. Dia bahkan tidak tahu masalahnya di mana, untuk itu aku juga malas membahasnya. Biarlah begini saja. Butuh waktu untuk menghancurkan persahabatan, butuh waktu juga untuk memulihkannya. Untuk saat ini, sangat sulit buatku untuk menerimanya lagi. Mungki untuk selanjutnya, aku takkan menerima cowok manapun sebagai sahabat lagi, cukup sebatas teman, tidak lebih. Biarlah idealisku hancur daripada hati ini yang sakit.

Topik selanjutnya beralih ke dunia kampus. Idealis sebagai seorang mahasiswa yang bagus dalam akademis dan organisasi. Memang nilai akademisku tak terlalu buruk juga tak terlalu baik. Hanya mencukupi standar yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus. Meski kehidupan organisasi lumayan berwarna, tapi tetap tidak akan ada habisnya. Melewati hari-hari dengan organisasi cukup melelahkan, fokus terbagi ke sana. Menurutku tidak begitu mengganggu perhatian karena sejujurnya seluruh kegiatan organisasi vakum saat ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satu acara demi satu acara aku lewati, satu semester demi semester dengan rentang nilai yang hampir berimbang. Yah, aku cukup sukses mempertahakan nilaiku selama aku aktif berorganisasi. Kesalahan utama nilaiku tidak melonjat tinggi karena kemalasan. Bisa dibilang nilaiku dicapai dengan keberuntungan. Harusnya aku mampu mencapai nilai yang jauh lebih tinggi seandainya aku lebih rajin, sering mengulang pelajaran dan menyicil menjelang ujian, bukan malah belajar pas hari H. Yah, jujur kehidupan organisasi itu lelah. Untuk menyeimbangkan antara kuliah dan organisasi tak mudah. Banyak teman yang memilih fokus pada kuliah dan tak mengikuti organisasi apapun dan nilai mereka sangat memuaskan. Itu pilihan setiap orang, pilihanku selama  5 semester ini masih menyeimbangkan keduanya dan mungkin di semester depan aku akan melepas dan fokus ke kuliah. Semoga aku bisa. Atau memang kehidupan lkampusku harus kombinasi keduanya? Who knows?

Dari awal aku masuk kuliah, aku selalu berkata pada diriku sendiri bahwa IP bukan segalanya. Idealisku berkata demikian, nilai bukan segalanya. Namun hingga kini, aku mulai goyah. Untuk mengajukan beasiswa S2 butuh IP yang sangat bagus yaitu top rank. Untuk mengikuti perlombaan-perlombaan bergengsi dan magang di perusahaan-perusahaan terkenal butuh IP yang sangat bagus. Aku menjadi ragu benarkan idealisku selama ini? Atau yang benar itu idealis teman-temanku yang mengejar IP tinggi dan nilai dengan cara apapun? Sungguh, hingga semester ini aku baru merasakan keraguan itu.

Karena kebosananku akan kuliah, aku ingin cepat lulus, itu berarti semester depan aku mengambil bidang kajian. Setelah menghitung poinku di seluruh bidang kajian, seperti biasa nilaiku rata-rata, standar, berimbang. Hanya kurang bagus di bidang kajian yang justru aku incar. Kembali ke topik IP sebelumnya. Apakah IP memang benar bukan segalanya untuk bersaing baik di kampus maupun di luar? Kajian yang mudah dan kajian yang sulit dengan kelululusan yang sama dan gelar yang sama, manakah yang akan dipilih?

Setelah lulus, aku belum memiliki tujuan yang jelas. Mungkin melanjutkan studi atau kerja. Tentunya aku menginginkan pekerjaan yang bagus dan mapan, namun di satu sisi idealis ini berkata untuk mendapatkan pekerjaan yang kusuka dan berkaitan dengan hobi travelling. Jika aku dihadapkan pada pilihan pekerjaan yang menawarkan gaji yang sangat tinggi dan bergengsi namun harus menetap dan membosankan dan pekerjaan yang selalu berpindah tempat dengan gaji yang secukupnya, jujur aku tidak tahu apa jawabannya.

Idealisme selalu bertolakbelakang dengan kenyataan yang ada. Mungkin memang selalu begitu hingga kadang membuatku ragu untuk melangkah. Semoga aku dapat memutuskan segalanya dengan benar, perlu berdoa untuk benar-benar tahu apa yang kuinginkan sebenarnya.

No comments:

Post a Comment