Dua minggu belakangan ini, aku selalu bermimpi di hampir tiap malam. Mimpi yang buruk, aneh, dan yang biasa-biasa saja ikut berpartisipasi dalam imajinasiku. Mereka seakan berlomba-lomba bersaing agar ketika aku terjaga aku tetap mengingatnya. Ada mimpi yang merupakan lanjutan lainnya. Aku melihat wajah-wajah orang sekitarku dalam mimpi itu. Beberapa hari ini tidurku pun tidak nyenyak. Memang aku sedang memikirkan banyak hal hingga otak ini juga lelah, tetapi tetap saja aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kurang dari dua minggu lagi aku harus pindah kos. Bukankah ini yang kumau sejak dulu. Hidup bebas dari mereka, menjalani kehidupanku sendiri, tidak perlu memusingkan barang yang berantakan, tumpukan piring di dapur, sampah yang bertumpuk, anjing yang menyebalkan. Bukankah aku mengingkan pindah dari sini sejak dulu? Aku bertahan di sini karena mama lebih tidak khawatir kalau aku tinggal bersama mereka. Kini saatnya mau tidak mau aku harus pindah, aku malah berpikir dan mengulang semua kejadian aku di rumah ini. Rumah yang selama 2,5 tahun telah menemaniku dalam segala suka dan duka, Empat sisi dinding kamarku yang senantiasa mendengar tangis dan tawaku. Terlepas dari semua kekesalan dan ketidaksukaanku, mereka semua telah berhasil mengisi ruang penting di hatiku. Aku tak mampu berjanji untuk tidak mengeluarkan ketika aku harus pindah dari kamarku, dari rumah ini. Apapun itu, yang perlu kusiapkan sekarang selain mengemas barang, adalah hati yang kuat untuk menghadapi kehilangan ini semua. Hidup itu selalu berubah bukan? Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Perubahan yang lain ada pada sahabatku. Awalnya, dia selalu mengatakan tidak akan berubah dan berusaha menyediakan waktu untukku meski dia telah memiliki pasangan. Sejujurnya, aku tidak percaya pada idealisme seperti itu. Meski aku tahu dia telah berusaha, tetapi tetap saja, status dia sudah berubah sekarang, dia harus menyediakan waktu untuk pasangannya sehingga intensitas kebersamaan kami cenderung berkurang. Aku tak menyalahkannya, malah aku yang merasa tak enak hati jika terus-terusan mengajaknya. Dari dulu, yang aku takutkan itu, aku terlalu egois untuk memulai suatu hubungan, waktuku habis di kampus, organisasi, dan teman. Aku belum siap menyediakan waktu buat seseorang. Sekarang kegiatan organisasiku telah berhenti sepenuhnya, baik kampus, non kampus, profit, non profit. Aku ingin menikmati masa-masa terakhir kuliahku sekarang ini. Itu saja aku telah menghabiskan sebagian besar waktuku di kampus. Keegoisanku sudah berkurang dan aku akan berusaha untuk menyediakan lebih banyak waktu lagi untuk hal lain. Mungkin aku harus mulai membuka hatiku dan memberi kesempatan untuknya.
Aku takut akan perubahan meski aku tahu tak ada sesuatu apapun yang ada di dunia tidak mengalami perubahan. Rencana setelah lulus kuliah, akan berpisah dengan teman-temanku dan menjalani kehidupan masing-masing. Akankah kami bertemu di suatu masa yang akan datang? Bahkan sahabat yang tidak berpisah sekarang saja, masih berada dalam satu kota, perubahannya begitu pesat sejak dia telah berpasangan. Dan aku berjanji pada diriku sendiri. Ini untuk terakhir kalinya aku memiliki sahabat laki-laki tanpa ada rasa suka apapun. Sudah cukup dua kali sakit seperti ini, aku tak akan mempercayai laki-laki manapun lagi yang menawarkan persahabatan. Sikapnya sekarang? Mendadak perhatian menanyakan kabarku, padahal ketika bertemu seperti orang yang tak saling mengenal. Aku punya perasaan, dan itu bukan terbuat dari batu. Aku tak suka dengan ketidakkonsistenan yang mempermainkan perasaan orang, seenak hatinya menyapa dan memalingkan wajah. Aku sudah terlalu sakit untuk itu. Kadang aku ingin sekali berlaku seperti lainnya yang tak akan terluka dan balas memalingkan wajah. Seandainya aku bisa melakukan seperti itu.
Baiklah sudah cukup pikiran di pagi hariku. Aku tak ingin merusak Jumat yang cerah ini dengan kesedihan sia-sia. Sampai bertemu di curahan hati selanjutnya, Sobat.
No comments:
Post a Comment