Merayakan Waisak di Borobudur pertama kalinya bagiku ibarat
diberikan segenggam permen, dan secara acak aku mengambilnya untuk dimakan,
rasanya ada yang manis, juga ada yang asam.
Akhirnya, sobat, aku berhasil mewujudkan salah satu impianku
sejak dahulu, merayakan hari raya Trisuci Waisak di Borobudur, tempat yang
paling menakjubkan bagiku yang menjadi kebanggaan Indonesia. Aku sangat
bersemangat menanti bulan demi bulan, hingga hari demi hari. Seperti biasa
menjelang Waisak aku mengambil athasila, latihan delapan sila, yang bisa
dikatakan semacam pantangan yang diambil oleh umat Katolik menjelang Paskah. Bedanya,
athasila ini standar untuk semua orang. Selama sebelas hari aku mengambil
athasila dan melepasnya pada hari dimana aku berangkat ke Jogja. Untuk kisah
petualang di Jogja, akan kubahas pada artikel terpisah.
|
Rajasa Hotel |
Pada tanggal 24 Mei, selesai mengitari Jogja, pukul 00.30
malam, atau bisa dikatakan pagi, saya dan teman perjalanan saya, Nely, diantar
oleh teman-teman kami yang berasala dari Jogja ke penginapan yang sudah kami
booking sejak Januari, fyi, saat booking hotel di sekitar Borobudur akhir
Januari lalu, saya sempat shocked, karena hampir seluruh penginapan full untuk
hari-hari menjelang Waisak. Untuk tanggal 24 Mei, kami menginap di Rajasa
Hotel, sebuah penginapan yang cukup sederhana dengan harga kamar Rp 350.000
terdiri dari fasilitas AC, kamar mandi di dalam kamar, handuk, sabun, dan
sarapan pagi. Selesai mandi, saya dan Nely segera mengistirahatkan tubuh kami
untuk esok hari yang kami tunggu sejak lama.
|
View dari Rajasa Hotel |
Selamat pagi dari Borobudur disambut oleh hamparan
pemandangan sawah yang hijau dengan latar belakang gunung. Pemandangan itu
dapat dilihat setelah saya keluar dari kamar hotel. Kami disuguhi sarapan nasi
goreng sayur dan secangkir kopi/teh. Rasanya cukup lumayan dan membuat hari
Waisak makin sempurna karena tidak memakan daging pagi ini. Selesai sarapan,
kami bersiap check out menuju hotel yang akan kami nginap hari ini. Kami
terpaksa berpindah penginapan karena penginapan untuk hari ini di Rajasa sudah
full booked. Kami menggunakan jasa ojek dari Rajasa Hotel ke Saraswati Boutique
Hotel kemudian lanjut ke Candi Mendut dengan tarif Rp 15.000 (seharusnya
tarifnya cukup Rp 10.000, lupa menawar hehe...). Kami sempat terkagum melihat
interior hotel yang sangat homy. Lobby nya terdiri dari beberapa meja yang
dikelilingi kursi dengan desain tradisional. Tidak ditemukan resepsionis dengan
meja tinggi, tetapi hanya seperti meja tulis. Interior yang sungguh unik dan
membuat nyaman. Kami menitipkan barang bawaan kami yang hanya terdiri dari
ransel di resepsionis.
|
Candi Mendut |
Tiba di Candi Mendut sekitar pukul 7.30 pagi, sementara acara
Waisak dimulai pukul 09.00, namun area candi sudah dipernuhi dengan
rombongan-rombongan umat vihara dan sebagainya. Kami sempat singgah sebentar ke
vihara di sebelah Candi Mendut untuk melihat-lihat kemudian masuk ke kompleks
Candi Mendut. Dikarenakan sekretariat Walubi, organisasi yang mengadakan acara
Waisak tahun ini, belum buka maka kami pun belum dapat meminta ID card access
yang akan digunakan untuk prosesi di Borobudur. Di depan Candi Mendut telah
tersusun altar dengan patung Buddha dan rangkaian bunga yang menghiasi. Di
depan altar telah digelar karpet yang cukup luas sebagai tempat duduk umat Buddhis.
Kami pun mengambil tempat di sebelah kanan altar.
|
Altar di Candi Mendut |
Ritual perayaan Waisak berjalan dengan lancar meski cuaca
saat itu sungguh panas sehingga seakan berada di ruangan sauna. Menjelang detik
Waisak yang jatuh pada pukul 11.24.39 saat itu, orang-orang yang datang semakin
banyak begitu juga dengan para fotografer yang mengambil spot untuk mendapatkan
foto terbaik. Saat prosesi menjelang detik Waisak, para fotografer berdiri di
lintasan jalan menuju tempat duduk sehingga saya sebagai umat yang duduk tidak
dapat melihat prosesi di altar karena terhalang oleh para fotografer yang
berdiri di tengah-tengah lintasan jalan untuk mengambil foto. Terlebih lagi
saat meditasi menyambut detik Waisak, terdengar jepretan tak henti dan blitz
yang diarahkan ke saya sehingga meski dengan mata terpejam saya tetap dapat
merasakan kilatan cahaya, saat membuka mata, ternyata benar para fotografer
mengarahkan camera untuk memotret umat yang sedang bermeditasi. Rasanya seperti
model saja kalau dipikir-pikir. Kemudian, mulai kejadian tidak diharapkan, remaja
di belakang saya terisak-isak karena blackberry nya hilang, katanya kemungkinan
diambil oleh penjual makanan yang sedang mengitari tempat duduk umat. Haruskah
saat meditasi, kami harus memeluk tas erat-erat agar barang tidak hilang? Saat
acara bubar, antrian untuk mengambil air berkah padat luar biasa, sehingga tak
terhindar aksi dorong mendorong, saya mengeluarkan dompet untuk memberikan
dana, kemudian memasukkan dompet saya kembali ke tas, namun tanpa sadar, dompet
saya ternyata sudah jatuh di tas milik seorang wanita di dekat saya. Dia
menanyakan dompet milik siapa dan saya sadar itu ternyata dompet saya yang
nyaris dicopet, mungkin karena desak-desakan sehingga tidak berhasil diambil
oleh sang pencopet. Wanita itu kebetulan saya sering melihat wajahnya di vihara
yang biasa saya kunjungi di Jakarta. Dunia sungguh sempit bukan? Saat prosesi
di Mendut, kami berkenalan dengan seorang pria yang datang sendiri ke Jogja
untuk mengikuti Waisak di Borobur, niat yang sungguh luar biasa, maka kami
bergabung bersama untuk melanjutkan prosesi di Borobudur. Setelah berhasil
keluar dari kompleks Candi Mendut, tentunya setelah berhasil melewati aksi
dorong mendorong, seluruh tempat makan dekat candi padat oleh orang-orang.
Pilihan kami jatuh pada tempat makan di pinggir jalan dengan lauk sederhana. Kami
memutuskan melanjutkan berjalan ke Candi Borobudur terlebih dahulu dari
rombongan agar tidak terlalu padat. Di tengah jalan, hujan mulai turun, sehingga kami memutuskan
untuk naik ojek, tarifnya Rp 10.000 hingga ke pintu masuk Candi Borobudur.
|
Suasana Prosesi Waisak di tenda Theravada |
Karena kami memiliki ID card peserta, maka kami masuk melalui
pintu 7 yang juga pintu masuk Manohara Resort dengan free. Kami naik ke atas
candi untuk foto-foto dan istirahat. Pada saat itu masih pukul 14.00 lebih
namun kawasan candi sudah dipenuhi lautan manusia. Sejam kemudian, rombongan
para bhikku tiba di Borobudur, diadakan ritual penyambutan di altar Buddha yang
terletak di bawah candi dengan megah. Setelah penyambutan, acara selanjutkan
merupakan prosesi Waisak masing-masing aliran di tenda-tenda yang sudah
didirikan di kompleks taman candi. Kami mengikuti prosesi Waisak di tenda
Theravada. Karena kondisi jalan yang macet, maka makan malam yang disediakan
oleh panitia juga terlambat datang. Kami memutuskan tidak menunggu makanan
datang dan mengikuti rombongan bhante untuk naik kembali ke candi. Saat itu langit
sudah gelap, sehingga kami hanya mengandalkan penerangan di sepanjang lintasan rombongan
di jalan menuju candi tentunya setelah melewati aksi dorong mendorong dengan
wisatawan, pengunjung, fotografer, dan
lain sebagainya.
|
Tiba di Candi Borobudur sore harinya penuh dengan lautan manusia |
Sesampainya di candi, karpet yang digelar di depan altar telah
penuh diisi oleh pengunjung, wisatawan, maupun para fotografer, sehingga kami
tidak dapat masuk lagi karena sudah sangat padat. Terlebih lagi ada satu jalur
masuk yang dikosongkan untuk menyambut Menteri Agama yang seharusnya datang
sejam yang lalu. Saat itu sudah pukul 19.30, kami bertiga sempat ribut dengan
panitia saat ditanya berasal dari rombongan mana. Saya membalas pertanyaan
panitia dengan lantang, “Memangnya harus ada rombongan baru dibolehkan
merayakan Waisak di Borobudur, perlu ditunjukkan KTP bahwa saya Buddhis, saya
jauh-jauh dari datang Jakarta untuk Waisak di sini, tapi tidak dapat akses
masuk untuk duduk, bagaimana dengan pengunjung lain?” Teman saya menambahkan, “Apakah
orang-orang ini bisa membaca paritta sehingga mereka harus duduk untuk menuh”in
karpet depan altar ini?” Panitia menjelaskan bahwa alasan tidak boleh masuk
melalui jalur itu karena jalur itu dikhususkan untuk penyambutan Menteri Agama
sehingga kami diminta untuk lewat jalur lain yang dimana sudah sangat padat dan
jika berhasil lewat melalui sana, juga tidak akan mendapatkan tempat duduk
menghadap altar. Saya tidak mengerti untuk apa ID card peserta dibagikan jika
kami diperlakukan sama dengan pengunjung, lebih baik tidak usah dibagikan.
Untuk mendapatkan ID card itu saja, kami harus antri panjang di candi Mendut.
Sementara di sini, jalur masuk ke tempat prosesi tidak dibedakan antara
pengunjung, peserta, dengan pers. Jika tidak ada fungsi ID card, untuk apa
dibagikan? Teman saya yang sudah marah merobek ID card peserta tersebut di
depan panitia, toh tidak ada gunanya ID card itu. Saya bisa memastikan
orang-orang yang duduk memenuhi karpet bukan umat Buddhis, ada satu identitas
yang menunjukkan mereka umat beragama lain. Kami juga merasa sedikit tidak enak
marah-marah dengan panitia, tetapi kami sungguh kesal luar biasa, jauh-jauh
dari Jakarta, mengikuti prosesi dari pada di Mendut, mendapat ID card peserta,
namun untuk closing ceremony bahkan tempat duduk pun tidak dapat. Jalur masuk
tersebut sempat dibuka untuk rombongan vihara sehingga kami merasa
terdiskriminasi, apakah harus rombongan baru diijinkan masuk? Panitia beralasan
bahwa sebagian rombongan sudah menunggu di dalam sehingga mereka diijinkan
masuk. Baiklah kami bisa menerima jika itu benar-benar rombongan vihara yang
diawali dari Bhikku kemudian diikuti umatnya dengan seragam sama, namun sisanya
yang mengikuti masuk bajunya berbeda-beda, juga diijinkan masuk. Mungkin kami
terlalu jujur mengaku tidak ada rombongan, jika berbohong sedikit mengatakan
sudah ada rombongan yang sudah duduk, mungkin diijinkan masuk. Who knows?
Whatever it is, marah-marah di Waisak bukan keinginan dari kami, namun emosi
tidak dapat dibendung. Tak lama setelah itu, hujan turun cukup deras,
pengunjung itu langsung cabut dari karpet dan keluar dari tempat prosesi.
Sungguh mengesalkan, jika mereka memang menantikan festival lampion, bisakah
mengambil tempat di luar tempat prosesi yang seharusnya menurut saya
diperuntukkan untuk umat Buddhis. Karena sudah tidak memungkinkan untuk masuk
dan hujan cukup deras, maka kami memutuskan untuk pulang.
|
Altar di Candi Borobudur |
Saya membaca berita bahwa ada kaki bhikku yang diinjak saat
pradaksina, bahkan teman saya yang lain yang juga mengikuti pradaksina harus
melakukan aksi dorong mendorong dengan para fotografer karena menghalangi jalan
pradaksina, sungguh membuat kesal. Ditambah lagi kabar bahwa para pengunjung
berteriak karena kecewa luar biasa festival lampion tersebut batal. Buat saya,
itu sebenarnya prosesi Waisak atau festival lampion?
Jujur, saya bangga menjadi bagian dari agama yang universal,
yang terbuka, namun saking terbukanya dan jika tidak ada toleransi dan saling
menghormati oleh umat lainnya, yah begini jadinya. Sebagai umat minoritas di
negara ini, kami hanya diberikan satu hari dari 365 hari untuk merayakan hari
besar Buddhis. Even, satu hari yang diakui itu, kami tidak dapat
melaksanakannya dengan tenang dan khidmat, malah suasana kacau balau. Menurut
saya, ada baiknya, lebih egois, membatasi acara Waisak diikuti oleh umat
Buddhis. Dengan dibuka untuk umum seperti ini dan tanpa ada peraturan jelas
yang membatasi, saya sebagai umat Buddhis yang merasa terintimidasi, satu hari
yang saya nantikan menjadi kesan yang mengesalkan. Jujur, saya tidak akan
berkunjung kembali ke Borobudur untuk merayakan Waisak, dan saya juga tidak
akan menganjurkan kepada teman-teman lain selama belum ada peraturan jelas
acara tersebut akan berlangsung seperti apa. Saya tidak bisa membayangkan jika
saya mengajak kedua orangtua saya dan harus melewati aksi dorong-dorongan.
Bukankah ini negara yang multi budaya dan multi agama, ke mana saling
menghormati itu perginya? Atau hanya karena kami kaum minoritas, sehingga acara
ini disepelekan dan dinikmati sebagai wisata atau sebagai ajang untuk meraup
keuntungan semaksimal mungkin? Saya teringat ajaran Buddha, “Berharap maka akan
kecewa”. Hal ini benar adanya, saya berharap besar untuk seremoni yang damai
dan suci di Candi Borobudur, dan kenyataan jauh berbeda dari harapan saya, yang
membuat kekecewaan mendalam. Ini bukan karena pembatalan festival lampion, inti
dari perayaan Waisak lebih dari lampion itu. Ini permasalahan saling
menghormati dan menghargai. Tidak adil menyalahkan pihak tertentu. Tidak ada
yang perlu disalahkan karena ini semua telah terjadi. Panitia yang tidak
memberikan peraturan jelas mungkin ada alasan tersendiri. Begitu juga dengan
pengunjung dan fotografer yang memadati dan mengambil kesempatan kami untuk
beribadah dengan tenang pun mungkin ada alasan tersendiri. Sesungguhnya saya
orang yang suka fotografi, namun di saat saya mengikuti prosesi, keinginan saya
untuk mengabadikan momen luap semuanya. Saya hanya ingin bisa merasakan prosesi
Waisak yang khidmat, mengikuti ritual demi ritual bersama dengan saudara saya
yang berasal dari seluruh Indonesia bahkan dunia. Merekam momen tersebut dalam
ingatan, saya yakin jauh lebih sempurna daripada melalui kamera saya. Mengapa para
fotografer itu tidak bisa menghargai umat yang sedang beribadah dengan
mengambil foto tanpa membuat kami merasa terganggu? Apakah prosesi kami
merupakan hal yang unik? Menurut saya, prosesi tersebut hanya biasa terjadi
pada kebaktian biasa, mungkin karena ini dilakukan di hari besar Waisak dan
bertempat di Borobudur sehingga membuatnya lebih istimewa untuk diabadikan. Di
mana penghargaan terhadap umat yang sedang beribadah? Fyi, pelempasan lampion sebagai penutup Waisak diterbangkan pada Minggu malam.
Terlepas dari semua asam manis perayaan Waisak, saya
bersyukur untuk merasakan hal baik dan kecewa dari keseluruhan prosesi itu.
Setidaknya, saya menjadi tahu bagaimana suasana merayakan Waisak di Borobudur
yang sejak dulu saya idamkan. Bagaimana suasana membaca parita bersama dengan
umat dari berbagai latar belakang, budaya, dan suku. Bagaimana suasana
keseluruhan aliran itu bersatu di depan satu altar saat prosesi berlangsung. Bagaimana
luar biasa para tokoh agama bersabar menghadapi jepretan kamera dan
dorong-dorongan. Bagaimana luar biasa saya berlatih kesabaran melewati lautan
manusia, suara tertawa yang menganggap prosesi kami lucu, dan tidak menghargai
ritual kami. Bagaimana akhirnya saya meluapkan emosi karena tidak dapat
mengikuti penutupan prosesi di Candi Borobudur. Bagaimana saya menerima
kekecewaan tidak dapat menulis harapan saya pada lampion dan menerbangkannya,
bahkan mendengar sorakan kekecewaan dari pengunjung. Bagaimana ajaran Buddha, “berharap,
maka akan kecewa” dan “ehipassiko, datang dan buktikan sendiri” benar-benar
saya dapatkan di sini.
|
Suasana malam prosesi Waisak di Borobudur yang berhasil diambil dari jauh |
Good or bad condition, happy or disappointed
feeling, enjoyable or annoying moments, holy or chaos session, we've done them
all. Still grateful for the great, impressed, and unforgettable moments
happened. This is going to be special stories to be share with others.
Nammo Buddhaya,
ReplyDeleteboleh tny? untuk mendapatkan ID Cardnya bagaimana caranya ya?
Trims..
Nammo buddhaya..
DeleteId card nya bisa didapat di panitia pas prosesi pagi di candi mendut. Sama"
daftar dulu atau gimana ya
ReplyDeletetrims
Idcard peserta bisa diperoleh saat prosesi di Mendut, ada stand panitia waisak di sana.
DeleteGa perlu daftar. Bisa langsung diambil
Delete